PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING)
A. Permasalahan
1) Dari sisi modus operandi
Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO, dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri sering dijadikan modus kejahatan TPPO. Para korban TPPO ini biasanya masuk melalui jalur ilegal melalui para calo. Setiap tahun sedikitnya 450.000 warga Indonesia (70 persen adalah perempuan) diberangkatkan sebagai tenaga kerja ke luar negeri. Dari jumlah tersebut, sekitar 46 persen terindikasi kuat menjadi korban TPPO (hasil kajian Migrant Care, Tahun 2009). Bareskrim Polri mencatat pada tahun 2009 ada 142 kasus TPPO, 275 orang korban terdiri dari 208 orang perempuan dan 67 orang anak-anak. Menurut catatan IOM, selama periode Maret 2005 s/d Desember 2009 ada 3.696 orang korban TPPO.
Saat ini TPPO telah meluas, baik dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisir, maupun tidak terorganisir, dengan lokus di dalam dan dan luar negeri. Kegiatan ini mampu memberikan keuntungan finansial yang sangat besar bagi pelakunya. Kejahatan TPPO sudah menjadi ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara. TPPO terjadi karena adanya berbagai faktor pendorong, diantaranya adalah faktor kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, terjebak pola hidup serba instan dan konsumtif dan juga tradisi kawin di usia dini bahkan bisa juga dalam kondisi konflik bersenjata, dan bencana alam sampai ke persoalan lemahnya penegakan hukum. Namun gejala TPPO bukan lagi hanya merupakan fenomena sosial biasa yang diakibatkan oleh faktor kemiskinan dan ketertinggalan di bidang pendidikan semata, tapi sudah menjadi fenomena pelanggaran hukum dan pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai akibat dari adanya praktek tindak kejahatan yang dilakukan baik secara perorangan maupun jejaring sindikat dengan maksud mengeksploitasi korban demi keuntungan pelaku dan jaringannya.
2) Dari sisi asal korban TPPO
Menurut catatan Internasional Organization for Migration (IOM) dalam periode Maret 2005 sampai dengan Desember 2009, terdapat 10 (Sepuluh) Propinsi sebagai daerah asal korban TPPO dengan urutan sebagai berikut: 1)Jawa Barat, 2) Kalimantan Barat, 3) Jawa Timur, 4) Jawa Tengah, 5) Sumatera Utara, 6) Nusa Tenggara Barat, 7) Lampung, 8) Nusa Tenggara Timur, 9) Sumatera Selatan, dan 10) Banten.
3) Dari sisi mekanisme penanganan korban TPPO
Masih adanya pemalsuan identitas korban oleh oknum aparat; dukungan anggaran untuk pencegahan dan penanganan TPPO dari sektor maupun daerah yang masih sangat terbatas, sehingga masih banyak keluhan pemerintah daerah tentang biaya pemulangan korban ke daerah asal, minimnya biaya pemulihan/rehabilitasi korban di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) maupun reintegrasi sosial, penegakan hukum yang masih belum optimal, serta belum berjalannya sistem pendataan dan informasi TPPO merupakan beberapa permasalahan terkait dengan mekanisme penanganan korban TPPO.
B. Upaya-Upaya yang telah dilakukan
Komitmen pemerintah Republik Indonesia sangat tinggi terhadap permasalahan TPPO. Upaya untuk mencegah dan menangani kejahatan TPPO didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerjasama. Untuk itu segala perangkat yang dibutuhkan untuk merealisasikan komitmen tersebut terus menerus diupayakan, dilengkapi, dan disempurnakan, baik dari sisi peraturan perundangannya hingga kepada penganggaran yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional PTPPO tahun 2009 – 2014. Komitmen yang tinggi dan keseriusan pemerintah terhadap permasalahan TPPO ini telah meningkatkan Peringkat Indonesia dari posisi “Tier 3” berdasarkan standar penanganan korban TPPO menjadi “Tier 2” yang berarti pemerintah Indonesia telah memenuhi standar minimum pencegahan dan penanganan TPPO seperti yang ditetapkan oleh ketentuan internasional. Adapun berbagai peraturan perundang-undangan yang telah mengantarkan Indonesia menduduki posisi “Tier 2” adalah sebagai berikut:
1) UU No. 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan turunannya yaitu: Peraturan Pemerintah R.I No.9 tahun 2008, tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Peraturan Presiden R.I No. 69 tahun 2008, tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sebagai tindak lanjut amanat pasal 45 UU PTPPO, telah ditetapkan:
i) Peraturan Ka Polri No. Pol 10 tahun 2007, tentang amanat pasal 45 UU PTPPO tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak dilingkungan Kepolisian Negara RI;
ii) Peraturan Kapolri No.3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan atau Korban Tindak Pidana;
iii) Permen PP Mo.01 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO di Kabupaten/Kota;
iv) Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pelayanan Warga pada Perwakilan RI di Luar Negeri (Citizen Service) di 24 titik.
2) Dalam Peraturan Presiden No. 69/2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah ditetapkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, sebagai Ketua Gugus Tugas dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai Ketua Harian. Selaku Ketua Harian Gugus Tugas Pusat, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 08 Tahun 2009 tentang Pembentukan 6 (enam) Sub Gugus Tugas Pusat Pencegahan dan Penanganan TPPO yang terdiri dari : 1) Sub Gugus Tugas Pusat Pencegahan dan Partisipasi Anak; 2) Sub Gugus Tugas Pusat Rehabilitasi Kesehatan; 3) Sub Gugus Tugas Pusat Rehabilitasi Sosial, Pemulangan, dan Reintegrasi; 4) Sub Gugus Tugas Pusat Pengembangan Norma Hukum; 5) Sub Gugus Tugas Pusat Penegakan Hukum; 6) Sub Gugus Tugas Pusat Koordinasi dan Kerjasama. Masing-masing gugus tugas dapat melakukan tukar menukar informasi melalui http://www.gugustugastrafficking.org. Pada saat ini sudah ada 17 propinsi dan 27 kabupaten/kota yang telah membentuk Gugus Tugas di atas (TERLAMPIR).
3) Untuk mewujudkan kegiatan strategis yang terpadu lintas program dan lintas pelaku, baik pada Gugus Tugas pusat maupun daerah, telah disusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak dan Eksploitasi Seksual Anak (2009-2014) yang ditetapkan dengan Permenko Kesra No. 25 Tahun 2009 untuk menjadi arahan, pedoman dan rujukan dalam penanganan masalah TPPO.
4) Guna menyamakan persepsi dalam pemahaman Undang Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, telah dilakukan sosialisasi ke berbagai daerah dan pelatihan bagi aparat penegak hukum khususnya jaksa dalam penanganan perkara TPPO, dan juga pelatihan satu atap antara polisi, jaksa dan hakim bekerja sama dengan Pusdiklat Kejagung RI. Selama periode 2007-2008 telah dilatih sebanyak 885 orang hakim.
5) Dalam rangka penguatan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, KPP & PA telah melakukan kerjasama dengan Kedutaan Besar Perancis dan UNICEF dengan menyelenggarakan Semiloka Regional di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada bulan April 2010. Semiloka ini melibatkan lintas kementerian dan lembaga yang terlibat dalam gugus tugas, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan dua negara tentangga yaitu Malaysia dan Timor Leste.
PEMANTAU PERDAGANGAN MANUSIA
HUMAN TRAFFICKING WATCH – HTW
PATAR SIHOTANG SH MH
DEWI KHOLIFAH