Home / Info media / Human Trafficking Oleh Defri, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK

Human Trafficking Oleh Defri, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK

FENOMENA TENAGA KERJA WANITA
SEBAGAI OBYEK PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)
oleh : depri

Pendahuluan
Perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi perhatian luas di Indonesia bahkan seluruh dunia yang sering dilansir melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik. Maraknya issue perdagangan orang diawali dengan semakin meningkatnya pencari kerja baik laki-laki maupun wanita bahkan anak-anak yang tidak luput berkeinginan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kejahatan ini dilakukan oleh berbagai kelompok besar dan kecil (terorganisir), baik yang terjadi di dalam suatu negara maupun yang melintasi batas negara. Hal ini disebabkan perdagangan orang kini merupakan industri paling menguntungkan diantara berbagai kejahatan transnasional lainnya, yaitu trafficking of drugs and arms. Sehingga PBB melakukan pembentukan instrumen Internasional pada tanggal 15 November 2000 di Palermo yang menghasilkan protokol PBB untuk melawan kejahatan terorganisir tersebut.

Perdagangan Orang adalah kejahatan yang memangsa mereka yang lemah secara fisik, emosional atau ekonomi, dan mengeksploitasi aspirasi dari mimpi-mimpi mereka yang tidak berdosa, maka tidak akan terjadi kekurangan calon korban, terutama dari kelompok masyarakat marjinal dan sedang berkembang. Kondisi seperti ini dimamfaatkan oleh sindikat kejahatan perdagangan orang menjadi suatu bisnis yang illegal karena adanya anggapan, bahwa korban tidak seperti halnya barang yg habis sekali dipakai seperti narkoba. Korban layaknya merupakan komoditi manusia yang dapat dijual, dibeli dan diperlakukan secara kejam berulang kali untuk meningkatkan marjin keuntungan.

Fenomena korban perdagangan orang di Indonesia adalah TKI yang umumnya adalah kaum wanita tidak memiliki keterampilan, berasal dari pedesaan dengan tingkat pendidikan yang rendah dan tidak banyak memiliki pilihan selain menjadi tenaga kerja di luar negeri. Berbagai penyebab yang mendorong terjadinya hal tersebut, diantaranya yang dominan adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan. Dalam pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius dan bahkan menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku. Namun para tenaga kerja ini tidak dilindungi peraturan tenaga kerja di Indonesia maupun negara tujuan. Karena para tenaga kerja wanita ini bekerja di rumah pribadi para majikan mereka, tersembunyi dari pengamatan masyarakat, maka keadaan mereka seperti ini menjadikan posisi rentan berupa kekerasan dan eksploitasi.

Sejumlah studi menemukan bahwa dibandingkan dengan tenaga kerja dari negara lain, jumlah tenaga kerja Indonesia yang mengalami praktek perbudakan dan perdagangan orang mencapai intensitas lebih tinggi. Tenaga kerja Indonesia umumnya dikenakan biaya yang sangat tinggi oleh badan penyalur tenaga kerja swasta maupun pemerintah, yang mencapai 30%-50% dari total pendapatan dengan masa kontrak selama dua tahun. Tingginya biaya ini menyebabkan rendahnya upah yang diterima oleh tenaga kerja Indonesia karena harus melunasi hutang yang terhitung sejak penerimaan hingga pengiriman. Lebih lanjut karena para tenaga kerja tidak mendapatkan informasi yang cukup, tidak mendapatkan pelayanan dan pelatihan dalam tugas mereka ke luar negeri, walaupun hal tersebut disertakan dalam biaya yang harus mereka bayar. Sehingga tahun 2005, ILO Global Report on Forced labour memperkirakan hampir 2,5 juta orang dieksploitasi melalui perdagangan orang menjadi buruh di seluruh dunia, dan lebih disetengahnya berada di wilayah Asia dan Pasifik.

Perdagangan orang menjadi salah satu persoalan yang dihadapi oleh Indonesia. Untuk mengatasi tindak pidana perdagangan orang, pemerintah meratifikasi protokol PBB tersebut dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO). Lahirnya Undang-undang PTPPO ini diharapkan membawa harapan baru dan tantangan bagi aparatur penegak hukum dan pemerhati terjadinya tindak pidana perdagangan orang, untuk kembali memperhatikan dan mempelajari unsur-unsur dan system perlindungan hukum (terutama bagi saksi korban) dalam tindak pidana perdagangan orang.
Akibat dari karakteristik tindak pidana perdagangan orang tersebut yang didukung dengan produk undang-undang, faktanya bahwa kasus-kasus seperti ini bagaikan fenomena gunung es dan sulit ditegakkan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama UU PTPPO memiliki konsekuensi yuridis yang luas (terikat banyak undang-undang), seperti UU Perlindungan Anak, UU Imigrasi, KUHP, UU TKI, UU Tenaga Kerja, UU Sistem Administrasi dan Kependudukan, UU Penempatan TKI di Luar Negeri dan lain-lain. Kedua, pemahaman yang kurang dan tidak seragam diantara aparat penegak hukum. Ketika kejadian antar wilayah, persoalan lokus kejadiannya yang menjadi hambatan. Dan ketika peristiwa dalam satu wilayah dianggap tidak ada perpindahan, padahal ada jelas perpindahan dan transportasi. Sehingga pelaku tidak terlibat dalam seluruh proses perdagangan yaitu merekrut, memindahkan, menampung dan menerima. Akibatnya agenda penanganan sangat ditujukan kepada para penegak hukum dan instansi terkait secara komperhensif dan integral dalam mencegah dan melindungi kejahatan perdagangan orang. Sehingga tulisan ini mencoba menguraikan tentang bagaimana fenomena tenaga keja Indonesia sebagai obyek perdagangan orang dengan merujuk pada munculnya berbagai fenomena diatas dan upaya pencegahan yang dilakukan aparat penegak hukum khususnya Polri.
Instrumen Hukum Yang Berhubungan Dengan Perdagangan Orang

Sebelum undang-undang tindak pidana disahkan beberapa waktu lalu, pengertian tindak pidana orang yang paling umum dan paling banyak digunakan adalah pengertian dari protokol PBB untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan orang. Pengertian perdagangan orang menurut protokol PBB pada Convention Against Transnational Organized Crime yang diselenggarakan di Palermo Italy tahun 2000 adalah “the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payment or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.”

Sedangkan dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Pidana Perdagangan Orang tidak jauh berbeda dengan rumusan dari protocol PBB dan lebih rinci atau mencakup ruang lingkup tindak pidana perdagangan dari rumusan KUHP. Dalam pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa perdagangan orang adalah “Tindakan perekrutan, pengankutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau member bayaran atau memfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar Negara, untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Pengertian diatas tidak hanya menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang menentukan suatu perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang, tetapi juga kondisi eksploitasi terkait ke dalam orang yang diperdagangkan. Dari pengertian tersebut ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan, yaitu ;
a. Proses tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang.
b. Cara, yaitu menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang.
c. Tujuan atau maksud, yaitu tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup setidaknya ekspolitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan pengambilan organ tubuh.

Penjelasan unsur-unsur perdagangan orang yang dimaksud adalah 1). Proses, apakah seorang yang menjadi korban perdagangan orang melalui direkrut, ditransportasi, dipindahkan, ditampung, atau diterimakan ditujuan. 2). Cara, apakah seorang korban tersebut mengalami tindakan diancam, dipaksa, diculik, korban pemalsuan, ditipu atau menjadi Korban penyalahgunaan kekuasaan. 3). Tujuan (eksploitasi), apakah korban tereksploitasi seperti pelacuran, bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, praktek-praktek lain dari perbudakan, atau Pengambilan organ-organ tubuh. Sehingga berdasarkan uraian pada unsur-unsur diatas, jika salah satu faktor dari ketiga unsur diatas terpenuhi, maka terjadilah perbuatan perdagangan orang. Persetujuan dari korban berkenaan dengan eksploitasi yang menjadi tujuan dari perdagangan orang tersebut dikesampingkan (diabaikan) dan tidak berarti, bilamana cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam pengertian diatas telah digunakan.
Dalam Pasal 1 butir (7) UU No. 21 tahun 2007, eksplotasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Makna tujuan untuk mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi masih membingungkan dikalangan para ahli hukum pidana karena tidak relevan lagi dengan dengan cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam definisi diatas. Kemudian sering terjadi alasan bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang bahwa para korban telah setuju atau adanya persetujuan dari korban atau korban mau dan sepakat untuk ikut. Sehingga dipertegas dalam pasal 26 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTTPO bahwa persetujuan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana tersebut. Unsur tujuan ini juga menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang sudah dirumuskan dan tidak harus menimbulkan akibat.

Inti dari tindak pidana perdagangan orang ini, hampir sering disalahartikan dengan penyelundupan manusia. Padahal secara substansi maupun perbuatan memiliki karakter yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari persetujuan, eksploitasi, lintas batas negara dan keuntungan komersial yang diperoleh. Perbedaan perdagangan orang (Human Trafficking) dan penyelundupan orang (People Smuggling), yaitu :
Perbedaan Perdagangan orang Penyelundupan orang
Persetujuan Tidak adanya persetujuan korban. Migran sadar dan setuju untuk diselundupkan ke luar negeri.
Eksploitasi Hubungan antara trafficker dan korban terus berlanjut dan menghasilkan keuntungan bagi trafficker. Hubungan antara smuggler dan migran berakhir setelah mogran memasuki wilayah tujuan.
Lintas Batas Negara Tidak selalu berupa upaya melintasi batas negara (bisa juga terjadi di dalam negeri). Selalu berupa upaya melintasi batas negara secara illegal.

Keuntungan Komersial Keuntungan trafficker bersumber dari eksploitasi atas korban. Keuntungan smuggler berasal dari pembayaran migran untuk mengantarkan mereka.

Fenomena terjadinya perdagangan orang
Perdagangan orang merupakan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) berupa penderitaan fisik dan mental korban, tertular penyakit menular dan menghilangkan masa depan. Perdagangan orang merupakan tindakan tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah atau antar Negara, pemindahan tangan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara, dengan acara ancaman atau penggunaan kekerasan verbal atau fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan, memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran, eksploitasi seksual, buruh migran, legal maupun illegal, adopsi anak, pekerja jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, industri pornografi, pengedar obat terlarang, pemindahan organ tubuh serta eksploitasi lainnya, atau untuk tujuan lain yang sejenis dengan untuk maksud memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dan atau kelompok orang tertentu.

Maka beberapa akar masalah diatas menjadi fenomena dari tindak pidana perdagangan orang di Indonesia dikategorikan sebagai perbuatan illegal. Tetapi para pelaku karena hanya mementingkan perolehan keuntungan yang sangat besar dan adanya pemikiran pelaku bahwa korban tidak pernah kadaluarsa (mengenal habis pakai), telah membuka celah merebaknya kejahatan perdagangan orang. Faktor kemiskinan dan tidak tersedianya lapangan kerja di pedesaan telah mendorong kaum perempuan bahkan anak-anak untuk mencari pekerjaan di kota bahkan sampai ke luar negeri. Kurangnya pendidikan dan terbatasnya informasi yang dimiliki menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang.
Faktor-faktor yang membawa terjadinya perdagangan orang sangat berkaitan antara satu sama lainnya sesuai dengan adanya permintaan akan tenaga kerja yang dapat dieksploitasi. Namun penyebab dari perdagangan orang tersebut berdasarkan teori ekonomi klasik yaitu adanya permintaan dan penawaran, dimana penawaran tersebut merupakan penyedia korban. Adapun faktor-faktor terjadinya perdagangan orang tersebut sebagai berikut :
a. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi menjadi penyebab terjadinya perdagangan orang yang dilatarbelakangi kemiskinan dan lapangan pekerjaan yangtidak ada atau tidak memadai dengan banyaknya jumlah penduduk, sehingga kedua hal ini yang menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan meskipun harus ke luar daerah asalnya atau bahkan ke luar negeri dengan resiko yang tidak pernah dibayangkan oleh seorang korban perdagangan orang.
Namun kemiskinan bukan satu-satunya indikator penyebab kerentanan seseorang terhadap perdagangan orang. Karena masih ada jutaan penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan tidak menjadi korban perdagangan orang. Bahkan sebaliknya, ada juga penduduk Indonesia yang relatif lebih baik dan tidak hidup dalam kemiskinan malah menjadi korban perdagangan orang. Hal ini disebabkan penduduk tersebut ingin mencari pekerjaan bukan semata karena tidak mempunyai uang, tetapi ingin memperbaiki keadaan dan menambah kekayaan secara materiil yang membentuk pola hidup materialistis dan konsumtif. Biasanya para orang tua yang tergolong materialistis, maka terhadap anak perempuannya yang telah dibesarkan merupakan cara yang ditempuh sebagai balas jasa atau dianggap suatu bentuk pengabdian kepada orang tuanya. Ketika dianggap lazim, maka anak tersebut akan menjadi korban perdagangan orang.
Persoalan ekonomi menjadi alasan utama terjadinya perdagangan perempuan. Seperti yang dikutip Sulistyowati Irianto terhadap yang diungkapkan oleh Datu Tumenggung (dalam wieringa) bahwa “kondisi ekonomi, perceraian sepihak dan poligami telah mendorong perempuan jatuh ke pelukan tangan-tangan orang-orang yang mencari penghidupan dengan membujuk gadis-gadis yang lugu.”

b. Faktor ekologis
Karakteristik kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban perdagangan orang adalah keluarga miskin dari daerah pedesaan atau kawasan kumuh di perkotaan yang memaksakan diri ke luar daerah hingga ke luar negeri untuk bekerja walaupun berbekal kemampuan yang sangat terbatas dan informasi yang terbatas.
Kepadatan penduduk di Indonesia yang sangat bervariasi, terdapat daerah-daerah yang jarang dihuni dan kurang berkembang seperti di daerah pulau Kalimantan, Papua (Irian Jaya), Sulawesi dan lain-lain dimana penduduknya masih mencari nafkah sebagai petani, berladang dan nelayan. Kemudian didukung letak Indonesia yang sangat strategis dan mendukung dalam kegiatan perdagangan orang karena banyak terdapat pelabuhan kapal laut dan pelabuhan udara serta berbatasan dengan negara lain. Sehingga keinginan mencari pekerjaan dengan hasil yang lebih baik menyebabkan para penduduknya rela mencari pekerjaan dengan bentuk apapun.
c. Faktor Sosial Budaya
Keragaman budaya dimanifestasikan dalam banyak macam suku bangsa, tradisi, dan pola pemukiman yang kemudian menghasilkan keragaman gugus budaya dan sosial. Secara keseluruhan, pola keturunan paling umum di Indonesia adalah pola bilateral, dengan patrilineal sebagai pola keturunan kedua paling lazim, tetapi ada banyak variasi. Dalam masyarakat terdapat sedikit kesepakatan dan lebih banyak menimbulkan konflik kebudayaan yaitu menjelaskan kaitan antara konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat dengan kejahatan yang timbul. Norma yang dipelajari oleh setiap individu, diatur oleh budaya dimana individu itu berada. Dalam suatu masyarakat yang homogenyang sehat, hal tersebut dilakukan dalam jalur hokum dan ditegakkan oleh anggota masyarakat, mereka menerima norma itu sebagai suatu hal yang benar. Bila hal ini tidak terjadi, maka akan timbul konflik budaya.
Tidak saja konflik budaya, kejahatan juga akan muncul yang disebabkan oleh faktor sosial. Seperti konflik sosial yang terjadi di daerah Papua antara masyarakat dengan pemerintah pusat akibat adanya kebijakan transmigrasi yang mengakibatkan ketegangan antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain. Maka konflik tersebut mengakibatkan kekerasan dan terusirnya penduduk transmigran dari tempat mereka. Oleh karena itu, penduduk transmigran yang tadinya mempunyai harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan kekuasaan yang kecil, mungkin lebih rentan terhadap perdagangan orang. Karena dalam praktiknya, proses migran ini dilakukan dalam berbagai bentuk modus penipuan yang selanjutnya dibawa ke Negara lain dengan tujuan diperdagangkan secara paksa dan biasanya disertai dengan ancaman kekerasan.

d. Ketidakadaan keseteraan gender
Banyak penelitian yang dilakukan bahwa banyak wanita yang menjadi korban perdagangan orang, hal ini disebabkan wanita dalam masyarakat terjadi perkawinan dalam usia muda yang dijadikan cara oleh orang tua untuk keluar dari kemiskinan.perkawinan di usia muda tersebut mendorong wanita memasuki eksploitasi seksual komersial, karena pertama, tingkat kegagalan pernikahan seperti ini sangat tinggi yang akibatkan perceraian, sehingga harus mencukupi kebutuhan sendiri dengan tidak berbekal pendidikan dan keterampilan, akhirnya cenderung memasuki dunia pelacuran sebagai salah satu cara yang potensial untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya rentan terhadap perdagangan orang yang akan menimpa wanita tersebut. Kedua, pernikahan usia muda mengakibatkan ketidaksiapan seorang wanita menjadi orang tua, sehingga anak yang dilahirkan rentan tidak mendapat perhatian karena sang ibu telah tereksploitasi guna mencukupi kebutuhan si anak tersebut. Akibatnya sang anak yang telah beranjak remaja, juga rentan terhadap eksploitasi seks komersial. Ketiga, adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan wanita yang membuat wanita terpojok dan terjebak pada persoalan perdagangan orang. Contohnya, wanita yang mengalami perkosaan maka sikap dan respon masyarakat umumnya tidak berpihak kepada wanita tersebut. Perlakuan seperti ini membuat wanita terdorong memasuki dunia eksploitasi seks komersil.
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang baik bagi wanita hanya dirasakan oleh golongan menengah ke atas, sementara golongan bawah yang berada di pedesaan atau pemukiman kumuh masih terbatas. Kondisi ini ditambah dengan masih adanya pemahaman di masyarakat kalau wanita tidak udah sekolah yang tinggi karena pada akhirnya harus mengurus suami dan anak, bekerja di dapur, bahakan juga bekerja sampingan sebagai tukang cuci atau pembantu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya.

e. Faktor Penegakan Hukum
Penegakan hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hokum dalam mengatur dan memaksa masyarakat untuk taat kepada hokum. Penegakan hokum tidak terjadi dalam masyarakat karena ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku. Sehingga permasalahan dalam penegakan hokum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagai berikut :
1) Faktor hukumnya sendiri, yaitu pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO belum ada mengatur tentang perlindungan korban yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak korban sebagai akibat dari perdagangan orang. Sehingga terjadi keberpihakan hokum terhadap korban yang terkesan timpang jika dibandingkan dengan tersangka.
2) Faktor penegak hukum, penegak hukum lebih sering memperlakukan korban sebagai pelaku tindak pidana dan terdapat kecenderungan yang menunjukkan bahwa korban tidak yakin akan reaksi penegak hukum terhadap yang dialami korban. Ini tidak terlepas dari kekhawatiran tidak percayanya para korban oleh penegak hukum. Hal ini terjadi karena perbedaan interpretasi dan lemahnya koordinasi antar penegak hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas, kurangnya pelatihan para penegak hukum mengenai perdagangan orang, ketiadaan prosedur baku yang khusus dalam menangani tindak pidana ini, sehingga tergantung pada persepsi dan kemampuan individu penegak hukum.
4) Faktor masyarakat, sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada hokum dan aparat penegak hokum. Karena pemahaman masyarakat tentang tindak pidana perdagangan orang masih sangat rendah. Sehingga masyarakat tidak mengetahui bahwa terdapat sindikat yang sedang melakukan tindak pidana perdagangan orang dan masyarakat tidak melaporkannya kepada pihak berwajib.

Faktor-faktor yang telah diuraikan diatas merupakan penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Jika dilihat dari kenyataan yang ada bahwa faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri. Dengan kata lain, faktor-faktor tersebut berhubungan satu sama lainnya hingga menghasilkan kejahatan.
Para pelaku perdagangan orang melakukan berbagai bentuk modus operandi dalam melakukan aksinya, yang pada akhirnya secara tidak sadar korban telah dikenakan tipu muslihat dari pelaku yang mencari keuntungan demi memenuhi target yang mereka. Modus operandi yang mereka pakai adalah dengan mengiming-imingi mereka untuk bekerja sebagai pelayan toko, pekerja rumah tangga, bekerja dipabrik dengan upah yang besar, bahkan ada juga calo yang berkedok sebagai duta pertukaran kebudayaan antar bangsa. Modus operandi yang terakhir ini biasanya mencari perempuan muda yang tertarik dibidang kesenian, seperti menari dan menyanyi. Mereka menjanjikan kepada calon korbannya untuk tampil dibeberapa negara sebagai duta kesenian. Untuk kasus-kasus seperti ini, seringkali mereka akan berakhir ditempat-tempat prostitusi.
Kemudian sarana yang di gunakan oleh para pelaku perdagangan orang antara lain : menggunakan jalur udara dengan pesawat, jalur laut dengan menggunakan kapal laut, jalur darat dengan kereta api, mobil, bus, truk, sampai ada yang berjalan kaki. Sedangkan metode dalam melakukan aksinya tersebut, mereka menggunakan metode secara terang-terangan (Overt) dan sembunyi-sembunyi (covert). Metode Covert yaitu menggunakan sarana kendaraan, kereta, perbatasan tanpa penjagaan (melalui jalan-jalan tikus, pelabuhan kecil dll). Metode Overt yaitu menggunakan sarana identitas atau dokumen perjalanan asli atau dipalsukan (visa palsu). Selain itu terdapat rute perjalanan tindak pidana perdagangan orang yang telah berhasil dipetakan mulai dari tempat (sumber asal korban), jalur transit dan jalur pemberangkatan, seperti yang dapat dilihat pada peta perdagangan orang berikut ini :

Sumber : Dr. Tubagus Rachmat Sentika, Spa, MARS.
Dari Rute diatas, diketahui tentang pergerakan perdagangan orang yang berasal Indonesia adalah dari daerah-daerah Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Tanjung Balai Karimun, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan (Makassar), Sulawesi Utara (Manado). Selanjutnya para calon korban di transitkan sementara di daerah Medan, Batam, Lampung, Jakarta, Pontianak dan Makassar, sebelum mereka dikirim ke negara tujuan seperti Australia, Singapore, Malaysia, Brunai, Thailand, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea, Kuwait, Iraq, Saudi Arabia, & Eropa. Selain dikirim ke luar negeri, banyak juga diantara para korban yang di kirim ke daerah-daerah tujuan yang berada di dalam negeri seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan .

Jenis-jenis trauma perempuan korban perdagangan
Korban-korban perdagangan perempuan biasanya mengalami trauma akibat kejadian-kejadian yang telah mereka hadapi. Berbagai tindakan seperti pemaksaan, penyekapan dan penyiksaan yang selama ini mereka hadapi tentu saja menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap perkembangan psikologi mereka. Trauma lebih dari sekedar perasaan stress atau tertekan yang dialami pada serangkaian peristiwa yang sangat menekan, terjadi secara tiba-tiba, diluar kendali korban, menghina martabat dan harkat diri korban, dan sekaligus mengancam jiwa atau kehidupan dirinya. Beberapa peristiwa traumatis yang dialami korban perdagangan perempuan sebagai berikut :

a. Pada saat perekrutan :
1) Sebagian korban telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga akibat pemukulan yang dilakukan oleh suami atau anggota keluarga lainnya. Korban juga mungkin terguncang ketika mengetahui suami, atau pacarnya mengkhianati dirinya. Kekerasan inilah yang menyebabkan perempuan lari dari rumah.
2) Perempuan sebagai korban tiba-tiba harus dibawa jauh pada suatu tempat yang tidak ia ketahui, dikelilingi oleh orang-orang yang tidak mereka kenali, dan disekap dalam sebuah tempat yang terisolasi.
3) Mereka mengalami kekecewaan yang luar biasa setelah calo atau agen yang biasanya adalah orang-orang dekat bahkan keluarganya sendiri, ternyata menelantarkan dan menjerumuskan dirinya.

b. Pada saat pemindahan atau pengiriman :
1) Biasanya mereka diangkut dengan alat transportasi yang jauh dari nyaman. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi, pada waktu yang tidak lazim (tengah malam atau menjelang fajar), dan melalui perjalanan yang sangat berat.
2) Selama perjalanan mereka tidak diberi makanan, obat, atau kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya, apalagi yang menyangkut dengan kepentingan reproduksi perempuan.
3) Selama perjalanan mereka dilarang berkomunikasi satu sama lain. Diantara mereka diciptakan suasana saling curiga dan tidak percaya. Mereka dilarang berkomunikasi dengan orang luar yang tidak mereka kenali.

c. Pada saat penempatan/bekerja :
1) Mereka kehilangan harga dirinya karena harus menjalani perkosaan demi perkosaan.
2) Tidak jarang mereka harus berhadapan dengan tamu yang gemar memukuli, memiliki gangguan kejiwaan seksual, atau memiliki penyakit-penyakit kelamin yang dapat menulari bahkan membahayakan hidup dirinya.
3) Mereka menemukan dirinya dalam keadaan terjerat hutang yang sangat banyak. Mereka terpaksa harus mengorbankan tubuhnya dieksploitasi untuk membayar hutang.
4) Mereka juga harus berhadapan dengan tukang pukul atau centeng yang tak segan menyiksa jika diketahui memiliki niat untuk melarikan diri.
5) Tak ada lagi orang yang dapat mereka percaya. Terutama ketika mereka mengetahui aparat negara atau penegak hukum yang seharusnya melindungi dirinya ternyata telah menjadi bagian dari kejahatan.

d. Pada saat pemulangan :
1) Saat pemulangan sebagai akibat dari ketidaktahuan mereka, mereka kembali terjebak oleh calo-calo. Sehingga trauma yang dirasakan oleh korban akan semakin berat.
2) Sampai di tempat asalnya, mereka menghadapi stigma yang diberikan oleh masyarakat sebagi pelacur atau orang kotor. Sehingga tak jarang mereka diusir dari tempat asal tersebut karena dianggap telah mencemari nama baik desa.

Upaya Penanggulangan TPPO Oleh Polri Melalui Pemberdayaan Polwan
Awalnya sistem peradilan pidana diperuntukkan untuk mempertahankan kontrol sosial terhadap kejahatan, memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar hukum pidana dan menetapkan keteraturan karena kejahatan dipandang sebagai pelanggaran bagi ketertiban sosial dalam ketentuan undang-undang yang berlaku. Namun setelah era 1960an, hal ini mengalami pergeseran paradigma, dimana kejahatan tidak hanya memandang terhadap konteks pelakunya tetapi berorientasi pada korban dari suatu peristiwa kejahatan tersebut. Sehingga kebutuhan untuk menyediakan perlindungan bagi korban mendapat perhatian khusus.
Dukungan dan proteksi merupakan hal yang penting bagi korban kejahatan manapun, khususnya korban perdagangan manusia. Namun dengan memandang bahwa korban perdagangan manusia lebih rentan, maka dukungan dan proteksi tersebut menjadi utama. Manusia yang diperdagangkan adalah korban sekaligus saksi yang dianggap sebagai sumber terpenting bagi proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh polisi. Tanpa adanya korban tersebut, mustahil bukti-bukti kejahatan akan terdukung bahkan sulit didapat.
Penanganan kasus perdagangan orang atau trafficking selama ini oleh polisi tampaknya tidak cukup hanya sebatas terbongkarnya sindikat perdagangan tersebut. Justru penanganan kasus trafficking ini dibutuhkan pada pasca terbongkarnya sindikat perdagangan orang, yaitu khususnya perempuan dan anak yang menjadi korban. Bagi perempuan dan anak korban trafficking, hal ini berdampak pada trauma psikologi yang tinggi. Tentu dalam hal ini, penanganan korban juga tidak mudah, karena yang dihadapi adalah masalah psikologis yang membutuhkan waktu dan ketrampilan penanganan yang baik.

Penanganan korban perdagangan orang baik perempuan dan anak sebagai korban, bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, tetapi merupakan proses yang panjang dan berkelanjutan. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Polri dalam mendukung upaya pencegahan, masih berjatuhan dan meningkat jumlahnya. Dari data Bareskrim Mabes Polri tahun 2009, kasus TPPO dari tahun 2004 hingga 2009 mengalami kenaikan secara terus menerus.
REKAPITULASI DATA PENANGANAN TPPO TAHUN 2004-2009
No Tahun Jumlah Korban
Dewasa Jumlah Korban
Anak %
Korban Anak Jumlah
Kasus Proses
1. 2004 103 10 9% 76 45 : P21
2. 2205 125 18 13% 71 40 : P21
3. 2006 486 129 21% 84 57 : P21
4. 2007 334 240 42% 177 88 : P21
5. 2008 519 88 15% 199 107 : P21
6. 2009 145 53 27% 102 41 : P21
Sumber : Bareskrim Mabes Polri.
Lahirnya UUPTPPO hingga saat ini, berdasarkan sepengetahuan penulis belum mampu menanggulangi terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Beberapa hal yang menyebabkan tidak maksimalnya penanganan oleh Polri adalah 1). Karakteristik tindak pidana perdagangan orang melintasi batas-batas negara dilakukan oleh organisasi tertutup. Sehingga kondisi ini menyulitkan polisi melakukan pengawasan baik dalam proses perekrutan hingga jalur lalulintasnya. 2). Penyidik yang belum memiliki SDM yang cukup profesional dan berlandaskan pada UUPTPPO, sehingga trafficker terhindar dari tuntutan dan jeratan hukum. 3). Kurangnya kesadaran masyarakat atau korban untuk mau melaporkan ke pihak yang berwajib atas peristiwa yang dialaminya akibat minimnya pengetahuan tentang perdagangan orang. 4). Adanya oknum aparat baik Polri maupun instansi lain yang menyalahgunakan kewenangannya untuk memperlancar terjadinya tindak pidana tersebut, sehingga kondisi ini akan mendukung kesempatan para pelaku dan memunculkan pelaku baru untuk melakukan aksinya. 5). Masih tidak adanya satu persepsi diantara penegak hukum berkaitan dengan pasal demi pasal yang termuat dalam UUPTPPO.

Polri telah mengakomodir dalam penanganan korban trafficking yaitu dengan dibuatnya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan anak dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Satuan Reserse Kriminal yang umumnya diawaki oleh Polisi Wanita (Polwan) yang bertugas khusus dalam hal penanganan para korban, saksi atau tersangka yang melibatkan perempuan dan anak. Keberadaan Polwan disini sangat dibutuhkan karena kecenderungan psikologis perempuan dan anak korban perdagangan bisa lebih dekat untuk menceritakan kasus yang menimpa dirinya. Namun pada Perkap ini tidak mengatur secara khusus tentang penanganan korban berkaitan dengan kondisi psikologisnya. Sehingga penyidik Polwan masih secara kaku dalam melakukan interogasi terhadap korban kejahatan khususnya korban perdagangan perempuan dan anak. Pemberdayaan Polwan melalui unit PPA ini perlu dilakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, khususnya bekerjasama dengan Bagian Psikologi Polda yang dapat membantu kinerja Polwan di Unit PPA dalam menangani korban perdagangan perempuan dan anak.

Pemberdayaan Polwan melalui Unit PPA dalam mengurai persoalan psikologi dan benang kusut di jaringan perdagangan perempuan dan anak merupakan hal yang berbeda dengan peranan sebelumnya. Kondisi di unit PPA saat ini, dengan banyaknya kasus-kasus dan pengaduan-pengaduan yang masuk setiap harinya, ketika proses penyidikan yang dilakukan menghadapi kendala, maka diselingi intimidasi dengan suara gertakan-gertakan. Sedangkan para penyidik yang juga sedang memeriksa tidak mengetahui keberadaan dan kondisi korban. Karena cara berpikirnya adalah bagaimana mengejar penyelesaian perkara, yaitu proses penyidikan tidak ada hambatan, bukti-bukti dengan mudah didapat, pemberkasan selesai kemudian diserahkan ke JPU.

Di sini terlihat betapa berbedanya pendekatan yang dilakukan oleh penyidik, sehingga diperlukan peran psikolog dalam mengetahui kondisi psikologi korban. Pengetahuan ini sangat diperlukan karena hal ini seringkali membuat penyidik salah tingkah dan tidak tahu seperti apa yang harus dihadapi korban yang saat itu sedang diinterogasi. Di satu sisi, penyidik harus tetap menjaga kesejahteraan psikologis klien yang sedang diperiksa dengan tetap menghormati dan bersikap sopan terhadapnya serta senantiasa mempraktekkan kemampuan empati yang memang senantiasa diinginkan oleh penyidik. Namun di sisi lain, kegunaan pengetahuan psikologis bagi penyidik juga dapat diketahui apakah kronologi peristiwa yang diceritakan korban bisa saja dibuat-buat dan diceritakan dengan cara yang sangat manipulatif. Sehingga dengan mengetahui kondisi psikologis korban perdagangan perempuan dan anak tersebut, selain dapat memperlancar dan mengantisipasi proses penyidikan, juga dapat membantu dan mengetahui hak-hak korban dalam pemulihan kondisi traumatisnya.

Kesimpulan
Pada tataran politis pemerintah telah menunjukkan keseriusan untuk menghapus perdagangan orang melalui telah diratifikasinya protokol PBB dan menuangkannya ke dalam peraturan nasional yaitu dengan lahirnya Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun dalam tataran praktis masih memberikan celah kepada para pelaku perdagangan orang. Celah tersebut berasal dari peraturan perundang-undangan yang secara substansi masih belum jelas dan tegas tentang upaya perlindungan terhadap korban perdagangan orang tersebut. Belum lagi penegakan hukumnya yang masih dilakukan secara partial/sektoral, sehingga dibutuhkan kerjasama aparat penegak hukum dan instansi terkait dalam penanggulangannya.

Pemerintah dipandang perlu untuk memperikan pengetahuan tentang perdagangan orang yang dimulai dari bidang pendidikan pada setiap tingkatan sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan sebagai bekal saat menempuh dunia pekerjaan. Sehingga perempuan yang umumnya saat ini menjadi obyek perdagangan orang dapat diminimalisir dari segi kuantitasnya.

Daftar Pustaka

Departeman Kehakiman AS, Kantor Pengembangan, Asisten dan Pelatihan kerja Sama Luar Negeri (OPDAT) dan kantor kejaksaan RI (Pusdiklat), Perdagangan orang dan undang-undang Ketenagakerjaan : Strategi Penuntutan yang Efektif, 2008.
Dr. Irawati Harsono, LBPP DERAP Warapsari, Perdagangan Orang, Gambaran Umum Perdagangan Orang di Tingkat Global dan Indonesia, Materi perkuliahan dalam Mata Kuliah Trafficking in Person untuk Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Ilmu Kepolisian STIK-PTIK Angkatan I,
Dr. Tubagus Rachmat Sentika, Spa, MARS, Materi perkuliahan dalam Mata Kuliah Trafficking in Person kepada Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Ilmu Kepolisian STIK-PTIK Angkatan I, Jakarta, Juni 2012.
Dr. Petrus Reinhard Golose, bahan materi kuliah Transnational crime dan Radikalisme pada Mahasiswa S2 STIK Angkatan I, Rabu tanggal 25 januari 2012
Emmy LS, 2010, Implementasi UU Pembaerantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bagi Anak Korban Perdagangan, Jakarta, Jurnal Perempuan 68 (Trafficking dan Kebijakan).
Farhana, 2010, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika.
Rachmat Syafaat, 2003, Dagang orang, Cetakan 1, Jakarta : Lappera Pustaka Utama,.
Sulistyowati Irianto dkk, 2005, Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,.
Syafira Hardani, 2004, Pentingnya Peran Negara Dalam Proses Pemulihan Korban, Jurnal Perempuan Edisi 36, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), 2008, Toolkit to Combat Trafficking in Persons, New York, USA : United Nations.

Share this:
Surat elektronikCetak

Posted in klinik kriminal and tagged faktor kemiskinan, FENOMENA, HUMAN TRAFFICKING, KEJAHATAN, OBYEK, PERDAGANGAN ORANG, SEBAGAI, TENAGA KERJA, tenaga kerja indonesia, tingkat pendidikan, transnasional, WANITA on Januari 12, 2013. Tinggalkan komentar
PERDAGANGAN PEREMPUAN SEBAGAI KEJAHATAN TRAFFICKING
Perdagangan Perempuan Sebagai Kejahatan Trafficking

Perdagangan manusia (trafficking) merupakan bentuk perbudakan modern, yang bertujuan komersial seperti; eksploitasi seksual atau kerja paksa. Sejak zaman dulu, perbudakan sudah dikenal, namun perbudakan yang ada saat itu melibatkan langsung antara penyalur dan pembeli (user) serta obyek yang digunakan. Korban yang sering mengalami perbudakan modern berasal dari kelompok masyarakat bawah yang kurang mempunyai pendidikan formal yang cukup. Dengan alasan ekonomi, banyak keluarga yang memiliki anak perempuan yang masih berusia dibawah umur, didesak untuk menerima tawaran orang-orang yang sering mendatangi rumah mereka agar mau bekerja di luar negeri. Tujuannya (klasik) agar dapat memperbaiki kehidupan ekonomi mereka tanpa paham akan akibatnya.
Di Indonesia, kasus perdagangan perempuan masih menjadi hal yang rumit, ini disebabkan selain posisi perempuan yang rentan, faktor kemiskinan juga menjadi korban mudah dijual oleh orang-orang terdekatnya, seperti paman, tante, tetangga, lurah dan bahkan suaminya sendiri tega menjual korban demi uang.
Praktik trafficking berlangsung dalam berbagai cara, modus operandinya mirip penipuan dengan dalih misalnya melakukan perekrutan dengan janji akan memberi pekerjaan di dalam maupun luar negeri, namun banyak kenyataan setelah direkrut para wanita muda dijual dan disuplai ke hotel-hotel sebagai pekerja seks komersial. Objek kegiatan trafficking pada umumnya menimpa wanita. Kegiatan trafficking tidak saja berlangsung melalui perekrutmen tenaga kerja ke luar negari dan dalam negeri. Praktik trafficking dilakukan terhadap sekelompok orang, maupun individu dengan janji akan dipekerjakan di sebuah perusahaan di luar negeri, nyatanya sampai di luar negeri mereka dijual dan lain sebagainya.

1. Apa itu Human Trafficking
Trafficking atau perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi . Kegiatan trafficking sudah sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk mencari keuntungan finansial tanpa menghiraukan perbuatannya menyalahi ketentuan hukum negara yang berlaku.
Definisi perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Provent, Suppres and Punish Trafficking in Perons Especially Women and Children Suplemeting the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksud dengan Human Trafficking adalah: The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of person, by means oh threat or use of force or other for more coercion,of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulneralibility or a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other form of sexual explanation, forced labour services, slavery or practices similar to slavery, servitude or forced labour services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (Terjemahan bebas: ” … rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/ pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi yang minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi illegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).
Perdagangan manusia, khususnya perempuan, dapat dikatakan sebagai salah satu kejahatan transnasional, karena sebagian kejahatan dilakukan dengan melibatkan jaringan kejahatan lintas negara. Trafficking telah terjadi secara meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri sehingga menjadi ancaman terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap HAM.
Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah Kejahatan Kemanusiaan Yang Serius, Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang sifatnya sangat mendesak, hal ini disebabkan beberapa alasan berikut :
1. Perdagangan Orang dianggap sebagai “industri paling menguntungkan” dibanding dengan kejahatan terorganisir lainnya, seperti trafficking of drug and arms. Hal ini menyangkut manusia yang diperlakukan sebagai “komoditi yang bisa didaur ulang.” Artinya, korban dieksploitasi, disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi berulangkali untuk meningkatkan keuntungan pelaku. Tidak seperti narkoba yang sekali pakai habis. Dalam kasus eksploitasi prostitusi, korban bahkan dieksploitasi sejak berumur 15 tahun dan kemudian dicampakkan begitu saja setelah dianggap tidak mempunyai nilai jual (dikarenakan faktor usia atau menderita penyakit). Dalam kasus yang lain, pembantu rumah tangga bisa dijual ke puluhan majikan selama bertahun-tahun.
2. Perdagangan Orang adalah “modern day slavery,” artinya pelaku memangsa pihak yang berada dalam posisi rentan yang lemah secara ekonomi, fisik maupun emosional. Pelaku menggunakan cara-cara modern untuk memperlakukan manusia layaknya budak. TKW yang bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga dipaksa bekerja tanpa istirahat dan tanpa imbalan, dirampas paspornya sebagai cara untuk mengikat kebebasan bergerak korban dan ditempatkan dalam kondisi yang tidak manusiawi (tidur di lantai, sanitasi yang buruk dan sebagainya).
3. Perdagangan Orang adalah bentuk “Pelanggaran Hak Asasi Manusia”. Korban tidak diberikan hak dasarnya sebagai manusia, seperti hak untuk bebas bergerak, hak atas standar hidup yang layak termasuk cukup pangan, sandang dan pagan, hak atas tingkat hidup untuk kesehatan dan kesejahteraan diri.
4. Perdagangan Orang adalah “Kejahatan yang terorganisir dilakukan baik dengan cara-cara konvensional melaui bujuk rayu para sponsor (perekrut tenaga kerja di tingkat desa) sampai cara-cara yang modern, misalnya melalui iklan-iklan di meia cetak atau elektronik. Pelaku mengorganisir kejahatan dengan membangun jaringan dari daerah/ negara asal korban sampai ke daerah/ negara tujuan. Jaringan Pelaku memanfaatkan kondisi dan praktek sosial di daerah/ negara asal korban untuk menjerat korbannya. Kebiasaan ‘ngenger’ atau merantau, ketidaksetaraan jender, kemiskinan, gaya hidup konsumtif dan bencana alam sering digunakan pelaku untuk menjerat korban keluar dari situasi tersebut dan dengan kekuasaan yang dimilikinya, pelaku mengiming-imingi korban dengan janji-janji muluk dan kemudian memeras korban baik secara fisik maupun seksual.
Negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya agar tidak menjadi korban atau dirugikan dari perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, kesadaran bersama seluruh penyelenggara negara, masyarakat dan aparat penegak hukum, untuk peduli terhadap orang yang menderita, terlanggar haknya, atau menjadi korban dari perbuatan sewenang-wewenang dan tidak manusiawi dari orang lain merupakan keharusan.

2. Bentuk-Bentuk Perdagangan Perempuan
Ada berbagai bentuk dari perdagangan orang termasuk perdagangan perempuan, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Buruh migran, baik di dalam maupun di luar negeri yang tanpa perlindungan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak orang, termasuk anak di bawah umur, bermigrasi tanpa sepengetahuan Departemen Tenaga Kerja, melalui jalur informal atau melanggar hukum, sehingga meningkatkan jumlah buruh migran secara signifikan. Buruh migran di eksploitasi sepanjang proses migrasi mulai dari perekrutan hingga proses pra-keberangkatan, selama bekerja dan setelah kembali.
b. Pekerja/ Pembantu Rumah Tangga (PRT). PRT kerap menghadapi bahaya besar karena sifat pekerjaan mereka yang bertempat di rumah pribadi dan tertutup dari sorotan masyarakat umum. Sering terdengar laporan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikan. Ruang gerak PRT biasanya dibatasi. Mereka dibatasi kemana mereka mau pergi, dan biasanya mereka dikurung dirumah ketika majikan mereka pergi. Karena PRT masuk dalam sektor informal, profesi ini seringkali tidak iatur oleh pemerintah dan berada di luar jangkauan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nasional.
c. Perempuan atau anak yang dipekerjakan sebagai pelacur.
Perekrutan untuk industri seks komersial sering berkedok perekrutan untuk ijadikan buruh migran. Banyak perempuan-perempuan yang telah menyerahkan sejumlah uang kepada perekrut untuk mencarikan mereka pekerjaan di luar negeri atau di luar daerah, dan tidak mengetahui dari bentuk yang sebenarnya dari pekerjaan mereka sampai di tempat tujuan. Pelaku perdagangan memalsukan dokumen mereka, dan mereka tidak berani mengadu kepada pihak yang berwenang karena takut akan dideportasi dan sebagainya. Perekrut mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasan agar para perempuan tidak berani melarikan diri. Korban juga disekap secara paksa dan dijaga secara ketat. Perempuan-perempuan yang semuta direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pegawai restoran atau untuk pekerjaan di sektor hiburan kemuian dipaksa untuk bekerja dalam industri seks komersial.
d. Kerja Paksa. Orang yang melakukan kerja yang bukan kehendak sendiri dan tanpa memperoleh imbalan yang layak atau tanpa memperoleh imbalan sama sekali.
e. Pengantin pesanan. Ada kecenderungan yang marak di kalangan laki-laki dari negara industri untuk mencari pengantin dari negara berkembang atau sering disebut dengan pengantin pesanan seperti Taiwan, Hongkong, Jepang, Gina, Australia, Amerika Utara dan Eropa. Kebanyakan perempuan yang banyak dipesan berasal dari Asia Tenggara, Eropa Timur dan Amerika Latin. Meskipun banyak kasus pengantin pesanan yang sukses dan bahagia, namun di sisi lain banyak terjadi kasus penganiayaan dan kekerasan fisik atau praktek-praktek serupa perbudakan. Di mana seorang istri dibeli semata untuk melakukan pekerjaan Pembantu Rumah Tangga dan memberikan layanan seks.
f. Pedofilia. Orientasi seksual yang obyeknya anak-anak. Orang dikatakan pedofil atau melakukan praktek pedofil bila melakukan hubungan seksual seperti sodomi, menyentuh, meraba, memainkan alat kelamin, berfantasi tentang anak-anak kecil. Beberapa aktifitas pedofilia yang masuk dalam kategori perdagangan anak, biasanya menjauhkan anak-anak dari orang tua maupun lingkungan keluarga dengan tujuan tertentu seperti eksploitasi seksual.
g. Tenaga Penghibur. Orang yang bekerja di tempat hiburan malam yang menemani pengunjung sehingga pengunjung merasa terhibur. Banyak kasus terjadi di mana perempuan yang direkrut menjadi tenaga penghibur mengalami pelecehan seksual dan ancaman bila tidak mau melayani para pengunjung.
h. Pengemis dan anak jalanan. Banyak kasus yang terjadi di Indonesia di mana anak-anak direkrut, diculik untuk dijadikan pengemis dan anak jalanan (anak yang bekerja di jalan).

3. Pelaku Perdagangan Perempuan
Menurut Rosenberg pelaku perdagangan orang (trafficker) adalah:
a. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah, manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara illegal menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkan ke dalam industri seks.
b. Agen atau calo-calo, bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman atau bahkan kepala desa, manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen. Yaitu usia mereka sebenarnya masih dibawah umur, tetapi dalam KTP atau surat jalannya seolah-oleh umur mereka telah dewasa.
c. Aparat pemerintah, manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyebrangan melintasi perbatasan secara illegal.
d. Majikan, apabila menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif seperti: tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik dan seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan hutang.
e. Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar pasal 289, 296 dan 506 KHUP dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di luar kemauannya, menjerat dalam libatan hutang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan memperkerjakan anak (di bawah umur 18 tahun).
f. Calo pernikahan, apabila pernikahan yang diaturnya telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.
g. Orang tua dan sanak saudara, apabila mereka secara sadar menjual anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi hutangnya dan menjerat anaknya dalam libatan hutang.
h. Suami. Jika ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim isterinya ke tempat lain untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi.
Sementara itu, dari sisi peranannya, pelaku dalam perdagangan orang (trafficking) dibedakan ke dalam 3 (tiga) unsur , sebagai berikut:
a. Pihak yang berperan pada awal perdagangan;
b. Pihak yang menyediakan atau menjual orang yang diperdagangkan;
c. Pihak yang berperan pada akhir rantai perdagangan sebagai penerima/pembeli orang yang diperdagangkan atau sebagai pihak yang menahan korban untuk dipekerjakan secara paksa dan yang mendapatkan keuntungan dari kerja itu.

4. Korban Perdagangan Perempuan
Menurut “The Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power”, PBS (1985), yang dimaksud dengan korban (victim) adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif, telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik, mental, emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan subtansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran (omissions) yang melanggar hukum .
Sementara itu, pengertian Korban dalam Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), BAB I pasal 1 angka 3 adalah: “seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/ atau sosial, yang iakibatkan tindak pidana perdagangan orang”. Selain itu, UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Karban memberi pengertian korban sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

5. Pola Rekrutmen Dan Modus Operandi
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000, menyebutkan bahwa pola rekrutmen adalah salah satu unsur dari perdagangan orang. Disebutkan dalam protokol tersebut bahwa kegiatan perekrutan dapat saja menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/ pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi.
Selain itu, secara umum, modus operandi sindikat perdagangan perempuan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a. Dengan ancaman dan pemaksaan. Biasanya dilakukan oleh trafficker yang telah dikenal dekat dengan pelaku. Dalam hal tersebut pelaku menggunakan kedekatannya dan kedudukannya yang lebih superioritas dibanding korban, sehingga membuat korban berada dalam tekanan dan kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak dapat menolak keinginan pelaku.
b. Penculikan. Biasanya korban diculik secara paksa atau melalui hipnotis melalui anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa terlebih dahulu oleh anggota sindikat sehingga menjadi semakin tidak berdaya.
c. Penipuan, kecurangan atau kebohongan. Modus tersebut merupakan modus yang paling sering dilakukan oleh sindikat trafficking. Korban ditipu oleh anggota sindikat yang biasanya mengaku sebagai pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji dan fasilitas yang menyenangkan sehingga korban tertarik untuk mengikuti tanpa mengetahui kondisi kerja yang akan dijalaninya. Modus operandi tersebut dengan melibatkan pihak-pihak mulai dari keluarga, kawan, calo, penyalur tenaga kerja (agen), oknum aparat, sindikat serta pengguna.
d. Penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perdagangan perempuan banyak aparat yang menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membacking sindikat perdagangan perempuan. Pemalsuan identitas kerapkali dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan pengurusan data diri. Seperti pemalsuan KTP dan akta kelahiran. Di bagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai imigrasi sehingga perdagangan perempuan yang ditujukan ke luar negeri dapat melewati batas negara dengan aman.
Modus operandi rekrutmen terhadap kelompok rentan biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari, menculik, menyekap atau memerkosa. Modus lain berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. lbu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan. Modus operandi kejahatan ini semakin kompeks dalam bentuk-bentuknya maupun teknis operasionalnya, baik dilakukan secara perorangan, kelompok, maupun bersindikat.

6. Proses Rekrutmen Dan Modus Operandi .
Perdagangan orang saat ini sudah menjadi bisnis global, yang memberikan keuntungan terbesar ketiga setelah perdagangan senjata dan obat-obatan terlarang. Perdagangan orang merupakan sindikat internasional yang terorganisir. Di Indonesia ada dua lingkup wilayah tujuan perdagangan orang, yaitu antar daerah/pulau dan antar negara. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 33 propinsi, 17.504 pulau dan ratusan suku dan kelompok budaya, sehingga sangat memudahkan terjadinya perdagangan orang dalam lingkup domestik. Ada banyak propinsi di negara ini di mana seseorang dapat diperdagangkan ke tempat yang tidak dikenal dan tidak diperbolehkan untuk mendapatkan bantuan agar bisa kembali ke rumah.
Sebagai gambaran, banyak perempuan muda yang masih dibawah umur disuatu wilayah direkrut untuk dipekerjakan di kawasan industri atau mall di tempat tertentu. Sampai di tempat tujuan, justru mereka ditempatkan di lokasi-lokasi hiburan sebagai pekerja seks, dan mereka tidak bisa melepaskan diri karena harus membayar uang dalam jumlah besar yang dibebankan pada mereka sebagai biaya rekrutmen dan transportasi. Di tingkat internasional biasanya disamarkan dalam proses penempatan tenaga kerja buruh migran atau untuk pengantin pesanan. Perempuan lokal biasanya dibujuk oleh calo yang menawarkan gaji tinggi atau dalam bentuk perkawinan yang menjanjikan hidup mewah. Negara-negara yang menjadi tujuan perdagangan manusia lnternasional dari Indonesia umumnya adalah Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Jepang dan sebagian besar negara Timur Tengah.
Dengan alasan menyediakan lapangan pekerjaan menjadi jalan mulus buat mereka mendapatkan mangsa. Agen dan calo perdagangan manusia mendekati korbannya di rumah-rumah perdesaan, di keramaian pesta-pesta pantai, mal, kafe atau di restoran. Para agen atau calo ini bekerja dalam kelompok dan sering menyaru sebagai remaja yang sedang bersenang-senang atau sebagai agen pencari tenaga kerja. Korban yang direkrut dibawa ke tempat transit atau ke tempat tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan pesawat terbang, kapal atau mobil bergantung pada tujuannya. Biasanya agen atau calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan.
Untuk ke luar negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang agen termasuk penanganan masalah keuangan. Sering perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh sangat jauh sehingga sulit kembali. Jika muncul keinginan korban untuk pulang, mereka ditakut-takuti atau bahkan diancam. Di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah penampungan untuk beberapa minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Akan tetapi, kemudian mereka dibawa ke bar, pub, salon kecantikan, rumah bordil dan rumah hiburan lain, dan mulai dilibatkan kegiatan prostitusi. Mereka diminta menandatangani kontrak yang tidak mereka mengerti isinya. Jika menolak, korban diminta membayar kembali biaya perjalanan dan tebusan dari agen atau calo yang membawanya. Jumlah yang biasanya membengkak itu menjadi hutang yang harus ditanggung korban.

Umumnya modus operandi yang dipergunakan adalah: bujuk rayu dengan iming-iming tertentu, pemaksaan/kekerasan dan intimidasi, penculikan, pengiklanan secara bertingkat dan terus menerus melalu beragam media massa, pemalsuan identitas/dokumen pribadi, sampai kepada “penjualan” yang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat (orangtua, kerabat-saudara, tetangga, ternan). Perdagangan orang menjadi kejahatan berat bagi kemanusiaan. Mengingat korban dari perdagangan manusia akan mengalami kerugian yang luar biasa baik secara psikis maupun fisik. Bahkan masa depannya hilang begitu saja. Perdagangan orang saat ini menjadi hantu di siang bolong yang memburu anak-anak Indonesia terutama yang keluarganya termasuk golongan miskin.
Dari uraian tersebut diatas, bila diidentifikasi variabel atau unsur-unsur Perdagangan Perempuan sebagai kejahatan Trafficking yang terjadi, dapat dikelompokkan dalam beberapa fase yaitu :

a. Recruitment Stage (Tahap Perekrutan)

No Pasokan Pelanggan Regulator Kompetisi
1. Kesulitan menempatkan iklan-iklan yang salah/menyesatkan.
Hubungan-hubungan yang diketahui dengan jaringan penyedia transportasi 1. Kekuatan ketentuan hukum yang berlaku/ ada yang melarang perdagangan manusia.
1. Peluang pekerjaan yang sah atau legitimate untuk korban yang potensial di wilayah sumber,

2 Tingkat kesadaran di antara populasi yang beresiko tinggi Sejauh mana pencari korban bepergian ke tempat rekrutmen untuk mencari korban. 2. Sejauhmana pengawasab polisi terhadap perekrut yang dicurigai
3. Keberadaan kelompok criminal lain yang mencari korban yang sama.
3 Kemudahan dalam melakukan kontak dengan korban (keluarga, klub)

Pola rekrutmen dalam menjaring korban biasanya dengan menggunakan sistem sponsor. Yang dimaksud dengan sponsor adalah orang yang merekrut korban di daerah asal korban dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk proses pemberangkatan, termasuk penginapan korbannya. Yang berperan sebagai sponsor biasanya orang-orang terdekat korban seperti pacarnya, tante, tetangga, lurah, sehingga mempermudah mereka mendapatkan akses untuk mendekati korban melalui pendekatan terhadap orang tua korban di kampung-kampung. Mereka mengatakan bahwa anaknya akan diberi pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi dan untuk meyakinkan terhadap orang tua tersebut mereka memberikan sejumlah uang. Dengan demikian tentu saja orang tua korban cukup percaya terhadap apa yang dikatakan si sponsor bahwa anaknya akan dipekerjakan antara lain di mal, di restoran dan sebagainya. Persoalannya, yang menjadi calo ini tidak hanya satu orang melainkan berantai, sehingga banyak tangan yang terlibat. Jadi di daerah asal saja bisa terjadi korban berpindah tangan dari calo yang satu ke calo yang lainnya. Kemudian dioper lagi ke calo di Jakarta atau Surabaya. Lalu dibawa atau dikirim ke Batam, Tanjung Pinang, Bintan ataupun Karimun. Selanjutnya mereka diberangkatkan ke negara tetangga naik pompong/perahu kecil dan di sana sudah ada yang menampung, yaitu tekongnya.
Selain melakukan perekrutan secara face to face di daerah pedesaan, ada pula para sponsor di perkotaan yang menjaring korbannya dengan memasang iklan di media cetak. Melalui iklan di media masa dengan iming-iming penghasilan puluhan juta per bulan untuk bekerja diluar negeri. Dengan iming-iming imbalan gaji yang besar sangat mudah mendapatkan mangsa, untuk kemudian mangsanya (korban) diberangkatkan ke daerah/negara tujuan sesuai pesanan dengan dokumen palsu dengan tujuan eksploitasi seks.
Harus diakui bahwa informasi tentang perdagangan manusia masih sangat terbatas. Banyak masyarakat terutama yang tinggal di pelosok-pelosok belum mengerti masalah ini. Sudah jelas bahwa trafficking merupakan masalah yang besar. Kedudukan regulator dalam hal ini otoritas penegak Hukum, pemerintah, Masyarakat luas (internasional) sebenarnya telah berulang kali mencoba untuk menghapuskan praktek perdagangan manusia melalui instrumen internasional, antara lain : Persetujuan Internasional untuk Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih tahun 1904, Konvensi Internasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak pada tahun 1921, dan Konvensi Internasional Memberantas Perdagangan Perempuan Dewasa pada tahun 1933. Pada 15 November 2000, Majelis Umum PBB mengadopsi Konvensi tentang Kejahatan Terorganisir beserta protokolnya yakni Protokol Menentang Penyeludupan Migran melalui Jalur Darat, Laut dan Udara dan Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Pelaku trafficking terhadap Manusia, khususnya Perempuan dan Anak.
Berdasarkan pasal 3(a) dalam Protokol tersebut, istilah perdagangan manusia diartikan sebagai perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan, atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ tubuh. Sebagaimana definisi ini, suatu kegiatan dapat dikategorikan kasus trafficking bila memenuhi tiga unsur penting, pertama mulai dari Proses pemindahtanganan seseorang dari satu pihak ke pihak lainnya yang meliputi kegiatan (perekrutan, pengiriman, pengangkutan, pemindahan, penampungan, penerimaan), kedua, Jalan/cara (ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan), ketiga Tujuan (prostitusi, pornografi, kekerasan/eksploitasi seksual, pedofilia, kerja paksa, kerja dengan upah yang tidak layak, pengedaran obat terlarang, pengemis, pengantin perempuan dalam perkawinan transnasional, perbudakan/praktek-praktek lain sejenisnya).
Di Indonesia sendiri berbagai upaya telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh sejumlah organisasi non-pemerintah, mulai dari kampanye, advokasi korban, advokasi kebijakan, membangun aliansi bersama untuk pencegahan, maupun melakukan pendidikan penyadaran akan bahaya perdagangan manusia dan sebagainya. Pada tanggal 12 Desember 2000, Indonesia ikut menandatangani Protokol PBB untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak. Disamping itu, Pemerintah RI telah menetapkan undang-undang yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Lahirnya UU ini, sampai saat ini belum mampu mengcover terjadinya tindak pidana Perdagangan Perempuan. Karena karakteristik tindak pidana perdagangan orang ini, bersifat khusus dan merupakan extra ordinary crime, karena banyak melibatkan aspek yang kompleks, dan bersifat transnasional organized crime, karena melintasi batas-batas negara serta dilakukan oleh organisasi yang rapi dan tertutup. Sehingga menyulitkan polisi melakukan pengawasan baik ditempat perekrutan maupun jalur lalulintasnya. Disamping itu, aparat penegak hukum belum memiliki SDM yang cukup profesionalisme dan handal untuk memahami ketentuan hukumnya dan melakukan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan. Hal ini terbukti masih adanya oknum aparat terkait yang memegang kekuasaan menyalah gunakan kewenangannya untuk memperlancar terlaksananya bahkan menutupi terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Perempuan ini. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat terutama kerabat dan orang-orang terdekat korban untuk mau melaporkan ke pihak yang berwajib atas peristiwa yang dialaminya atau diketahuinya. Bahkan mereka menjadi pelaku terjadinya tindak pidana perdagangan perempuan ini. Kondisi sedemikian rupa, akan tetap mendukung tumbuhnya niat dan kesempatan para pelaku-pelaku (Traffiker) dan menumbuhkan pelaku-pelaku baru untuk melakukan aksinya.

b. Tranporter stage (Tahap Pemindahan/ Transportasi)
No Pasokan Pelanggan Regulator Kompetisi
1. Status hubungan dengan pelaku perekrutan.
1.Hubungan-hubungan yang diketahui dengan kelompok criminal pelaku perekrutan di wilayah tujuan.
Pengetahuan polisi tentang kegiatan prostitusi lokal dan kegiatan buruh illegal. Kekuatan regulasi atas bisnis untuk mengontrol buruh kerja paksa dan buruh yang dibayar sangat murah. Upaya penegakan yang dilakukan untuk menemukan orang-orang yang diperdagangkan 1. Usaha prostitusi lokal yang menggunakan wanita yang tidak diperdagangkan.

2 Kemudahan akses terhadap metode transit dan rute transit yang mudah 2. Sejauhmana wilayah tujuan kelompok konstan atau berubah. 2. Sejauh mana permintaan illegal lokal atas buruh/ seks dilayani oleh pemasok yang bukan melakukan perdagangan manusia.

Kebanyakan dari kasus trafficking yang dialami perempuan adalah menjebak mereka sebagai pekerja seks . Pengalaman pertama menjadi pekerja seks akan selalu terkait dengan masalah psikis mereka. Melalui pengalaman mereka, banyak diantara mereka yang mengalami trauma. Sebagai ilustrasi :
Bunga (bukan nama sebenarnya) yang didampingi oleh Yayasan Hotline Surabaya di Bangunsari, Surabaya. Bunga menjadi pekerja seks pertama kali di Samarinda ketika berusia 17 tahun. Bunga mengalami proses yang sangat panjang sampai akhirnya menjadi pekerja seks. Dalam keadaan menganggur dan miskin, Bunga mau diajak bibinya bekerja. Awalnya Bunga sebagai pembantu Rumah Tangga disebuah Losmen. Tetapi dia berhenti karena sakit-sakitan, kemudian Bunga dibawa bibinya bekerja ditempat lokalisasi sebagai pelayan bar membawakan tamu-tamu bir. Selain itu, Bunga juga disuruh membantu ngerokin tamu-tamu bibinya. Bunga tidak tahu kalau bibinya bekerja ditempat orang-orang nakal. Rupanya bibinya Bunga berencana menjualnya. Bunga dikenalkan kepada seorang camat, tetapi ia juga pacaran dengan seorang polisi. Suatu malam, ketika Bunga belajar merokok, bibinya menyuruhnya masuk kamar dan kamar dikunci dari luar oleh bibinya. Lalu masuk polisi pacarnya Bunga. Polisi itu berkata kalu dia telah memberikan sejumlah uang kepada bibinya untuk membeli keperawanan Bunga. Tetapi Bunga menolak melayani polisi (pacarnya) itu sehingga keesokan harinya Bunga menerima siksaan fisik dari bibinya. Akhirnya Bunga kabur dari tempat itu dengan bantuan temannya. Bunga memutuskan pergi ke tempat lokalisasi di Muara Badak untuk menjadi pekerja seks. Ditempat itulah Bunga menjual keperawanannya kepada tamu pertamanya yang ia lupa siapa pertama kali ia layani. Tetapi hanya 6 bulan Bunga sebagai pekerja seks, ia berhenti karena sakit. Sampai akhirnya Bunga ditolong oleh seorang laki-laki yang kemudian melamarnya. Perkawinan Bunga hanya bertahan 2 tahun, karena pada saat mengandung 8 bulan ia dipulangkan ke Malang. Ketika anak berusia 2 bulan, suaminya bersurat kalau kontraknya sudah habis. Itu berarti kerjanya sudah habis.

Dari ilustrasi yang dialami Bunga, menggambarkan bahwa ia adalah korban Trafficking. Terjadinya Trafficking dalam kasus Bunga disebabkan antara lain, pertama : ada isu pemindahan yang menempatkan Bunga pada posisi rentan dan kehilangan dukungan sosial karena sendirian menghadapi godaan tekanan psikologis untuk menjadi pekerja seks. Kedua, adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh bibinya. Bibi sebagai tali keluarga yang seharusnya melindunginya atau menghindarkannya dari perdagangan perempuan, malah menjebaknya menjadi pekerja seks dan tega menjual keponakannya kepada laki-laki yang sebetulnya sudah menjadi pacarnya (seorang polisi). Ketiga, adalah bibinya menerima uang dari laki-laki yang sudah ia kenal dan bahkan berstatus sebagai aparat yang semestinya bertindak mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana perdagangan perempuan ini. Tetapi malah menjadi pelaku sebagai pelanggan terjadinya tindak pidana ini. Keempat, walaupun ditemat tujuannya bunga tersedia lapangan pekerjaan yang lain (bukan sebagai pekerja seks), tetapi karena adanya pengaruh lingkungan dan dalam keadaan yang tertekan memaksa Bunga untuk menjadi korban Trafficking. Kelima, masih adanya permintaan (demand) dari orang-orang tertentu baik sebagai calo ataupun pelanggan yang menginginkan adanya pekerja seks, dan didukung kondisi rentan pihak korban serta adanya pembiaran terjadinya tindak pidana perdagangan perempuan oleh aparat, akan menyuburkan bisnis ini tetap terlaksana dengan tertutup dan rapi. Artinya, sepanjang adanya permintaan (demand) dari daerah tujuan, maka kegiatan perekrutan dan suply dari daerah asal akan tetap berjalan. Kondisi seperti ini akan tetap mengancam perempuan sebagai korban trafficking.
Terkait dengan peristiwa yang menimpa Bunga dan korban-korban trafficking lainnya, terjadinya praktek trafficking yang sampai saat ini belum bisa ditanggulangi karena adanya Penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perdagangan perempuan banyak aparat yang menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membackingi sindikat perdagangan perempuan. Pemalsuan identitas kerapkali dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan pengurusan data diri. Seperti pemalsuan KTP dan akta kelahiran. Di bagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai imigrasi sehingga perdagangan perempuan yang ditujukan ke luar negeri dapat melewati batas negara dengan aman.
Kondisi ini sungguh amat memprihatinkan, kebijakan penegakan hukum yang terpadu dan terpusat pada korban amatlah dibutuhkan. Fungsi regulator dalam hal ini adalah pentingnya memberikan dukungan dan proteksi bagi korban trafficking. Pada pokok pertama, perlu dipresentasikan terlebih dahulu asal muasal kebijakan dukungan bagi korban seperti pergerakan peran korban bagi pelaporan tindak kejahatan dan statistik kepolisian. Selanjutnya, perlu diperhatikan aspek dukungan dan proteksi dari korban trafficking yang memiliki kebutuhan khusus dan menghadapi kesulitan yang berbeda dibanding korban kejahatan lainnya. Memperhatikan kedua hal tersebut, ketentuan dan praktek yang diperlukan oleh regulator bagi kesejahteraan korban trafficking perlu digaris bawahi. Lebih jauh, dan berdasarkan pada tinjauan literatur, perlu ditekankan asumsi bahwa melaporkan kejahatan dan berkonsentrasi pada kegiatan investigasi polisi. Sebagai konsekuensinya, keberhasilan dari gugatan kriminal semacam ini lebih dimungkinkan, dan ini berarti bahwa trafficker akan berhasil diidentifikasi dan jaringan trafficking akan dapat terbongkar.
Pada akhirnya, perlu digaris bawahi pentingnya korban sebagai manusia yang bebas menentukan kontribusinya bagi sistem peradilan pidana, serta animo mengenai kebutuhan atas kebijakan anti-trafficking yang berpusat pada korban terkait denga hak asami manusia yang seimbang dengan animo terhadap dakwaan yang efektif (dengan adanya partisapasi dari korban) bagi trafficker sebagai bagian dari pendekatan yang lebih luas yang beroreantasi pada pencegahan perdagangan manusia.
Koordinasi dan kerjasama di antara semua pihak yang bergerak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan sangat diperlukan. Keperluan membangun Koordinasi intra-lintas-nasional antar instansi, antara lain, karena (a) adanya keterbatasan setiap institusi baik secara kewenangan dalam hukum atau keahlian profesional, (b) dibutuhkannya penanganan kasus secara komprehensif dan terpadu bagi pencegahan dan penanganan perdagangan perempuan yang memang memiliki karakteristik yang kompleks (misalnya kejahatan lintas wilayah, lintas negara) sehingga membutuhkan penanganan yang tidak biasa (extraordinary). Terwujudnya Koordinasi intra-lintas-nasional antar instansi tersebut dimungkinkan jika ada dukungan kesediaan dari segenap pelaku pencegahan dan penaggulangan perdagangan perempuan yang telah ada, dukungan legal, serta dukungan dan fasilitasi yang memadai.

c. Exploiter Stage (Tahap Eksploitasi)

Pasokan

Pelanggan
Regulator
Kompetisi
1. Kekuatan hubungan-hubungan dengan kelompok yang melakukan pemindahan korban.
2. Kapasitas untuk melakukan intimidasi korban untuk mempertahankan control atau kendali.
3. Kemudahan dimana korban bisa dipindahkan setelah sampai di tujuan. 1. Ukuran permintaan lokal dalam hal prostitusi.
2. Ukuran pasar untuk mempekerjakan pekerja yang tidak didokumentasikan.
3. Tingkat kesadaran perdagangan manusia di lokasi tujuan. 1. Pengetahuan polisi tentang prostitusi lokal dan kegiatan buruh illegal.
2. Kekuatan peraturan terhadap bisnis terhadap orang-orang yang menguasai. 1. Kemudahan yang relative dan keuntungan dari perdagangan manusia dibandingkan dengan menyelundupkan barang-barang lain.
2. Intensitas kompetisi dari kelompok kejahatan lain.

Memang tidak ada satu pun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafficking. Terjadinya Trafficking karena bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Tetapi dapat disimpulkan beberapa faktor, antara lain :
1. Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafficking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban.
2. Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja, tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut.
3. Kultur/budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, diyakini menjadi salah satu pemicu trafficking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua.
4. Lemahnya pencatatan /dokumentasi kelahiran anak atau penduduk sehingga sangat mudah untuk memalsukan data identitas.
5. Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafficking
Dapat digambarkan dari hasil penelitian , yang mengungkapkan gambaran samar dari suatu jaringan pelaku perdagangan orang (trafficker) yang diperoleh melalui berbagai penjelasan informan penelitian tentang pola rekruitmen para pelaku perdagangan orang (trafficker) dalam menjaring korban. Dari penjelasann para informan tersebut, kemudian diperoleh berbagai peran yang menggambarkan jaringan pelaku perdagangan orang (trafficker) tersebut, antara lain adanya: Sponsor, yaitu orang yang merekrut korban di daerah asal korban dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk proses pemberangkatan, termasuk penginapan korbannya dan orang tua korban juga diberikan sejumlah uang. Modus ini dilakukan untuk mengikat korban dengan secara tidak langsung sudah berhutang kepada pelaku. Mau tidak mau, suka tidak suka si korban harus mengikuti apa perintah si pelaku. Selanjutnya, Calo, yang tidak hanya satu orang melainkan berantai sehingga banyak tangan yang terlibat, yang terdiri dari beberapa calo berantai di daerah asal korban dan calo yang berada di Jakarta atau Surabaya, yang bertugas untuk membawa korban ke tempat tujuan, misalnya ke Batam, Tanjung Pinang, Bintan ataupun Karimun. Tekong, pihak yang menampung korban di tempat tujuan, bahkan di luar negeri. Setelah mereka berada di tempat tujuan maka mereka disalurkan ke beberapa pihak, seperti germo setempat, pengusaha tempat hiburan/prostitusi dan sebagainya.
“Mengacu pada uraian pengalaman beberapa korban perdaganganorang (trafficking) di atas, maka adalah benar bahwa jeratan hutang adalah salah satu sarana bagi orang atau kelompok orang untuk menguasai seseorang untuk tujuan mempunyai kendali atau kontrol atas seseorang, atau untuk memaksakan kehendak atau kepentingan, atau untuk eksploitasi”.
Perdagangan Orang dianggap sebagai “industri paling menguntungkan” dibanding dengan kejahatan terorganisir lainnya, seperti trafficking of drug and arms. Hal ini menyangkut manusia yang diperlakukan sebagai “komoditi yang bisa didaur ulang.” Artinya, korban dieksploitasi, disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi berulangkali untuk meningkatkan keuntungan pelaku. Tidak seperti narkoba yang sekali pakai habis. Dalam kasus eksploitasi prostitusi, korban bahkan dieksploitasi sejak berumur 15 tahun dan kemudian dicampakkan begitu saja setelah dianggap tidak mempunyai nilai jual (dikarenakan faktor usia atau menderita penyakit). Dalam kasus yang lain, pembantu rumah tangga bisa dijual ke puluhan majikan selama bertahun-tahun. Artinya, perdagangan orang telah menjadi bisnis kuat yang bersifat lintas daerah bahkan lintas negara karena walaupun illegal hasilnya sangat menggiurkan, merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata. Tidak mengherankan jika kejahatan internasional yang terorganisir kemudian menjadikan prostitusi internasional dan jaringan perdagangan orang sebagai fokus utama kegiatannya.
Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan sumber daya yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen bersama yang lebih kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang terencana dan konsisten antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah bahkan melibatkan jaringan luas baik dengan pemerintah negara sahabat dan lembaga internasional. Oleh karena itu dalam Peraturan Daerah sebaiknya dikembangkan pula kerjasama antara provinsi ataupun kabupaten/kota di Indonesia, kemitraan dengan dunia usaha dan berbagai elemen masyarakat sebagai upaya untuk melakukan pencegahan dan penanganan korban Perdagangan Orang dan membangun berbagai jejaring dengan berbagai elemen masyarakat. Peraturan daerah tentang Pencegahan dan Penanganan Karban Perdagangan orang lebih menekankan pada upaya untuk melakukan pencegahan perdagangan orang daripada upaya represif terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang karena pengaturan mengenai tindakan represif telah diatur dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pemberantasan Perdagangan Orang dan dengan dimaksimalkannya upaya pencegahan terhadap perdagangan orang diharapkan dapat menekan seminimal mungkin korban perdagangan orang.
Upaya Pencegahan Perdagangan orang dilakukan melalui Pencegahan Preemtif dan Pencegahan Preventif. Pencegahan preemtif merupakan tindakan yang harus dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan oleh Pemerintah Daerah yang bersifat jangka panjang dalam upaya pencegahan perdagangan orang. Pencegahan Preventif merupakan upaya langsung yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pencegahan perdagangan orang yang berupa pengawasan terhadap setiap Perusahaan Penyalur Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan Korporasi yang ada, membangun jejaring dengan berbagai pihak terkait (LSM, penegak hukum) dan membuka akses pengaduan terhadap adanya tindak pidana perdagangan orang.
Secara institusional, pemerintah (regulator) mempunyai kewenangan untuk menangkap trafficker, dan mengalokasikan sumberdaya untuk mendukung program dan kegiatan pencegahan dan perlindungan kepada korban. Untuk mengatasinya, diperlukan kerjasama seluruh pihak, baik di dalam dan di luar negeri, antara daerah asal, transit dan tujuan. Kerjasama tersebut sangat penting, karena penghapusan perdagangan orang di daerah tujuan tidak akan pernah berhasil jika daerah asal masih tetap mengirimkan calon korban untuk dieksploitasi. Selain kerjasama antar daerah atau negara, kerjasama antara pelaku penghapusan perdagangan orang di suatu daerah juga sangat penting, seperti misalnya pihak kepolisian tidak akan mungkin pernah bisa mendeteksi terjadinya setiap kejahatan di wilayahnya karena keterbatasan personil dan perlengkapannya, sehingga untuk itu diperlukan bantuan masyarakat untuk menginformasikan terjadinya kejahatan yang diketahuinya kepada polisi sehingga dapat segera ditindaklanjuti.
Perdagangan orang khususnya perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban dirampas hak asasinya dan diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan dan dijual kembali bahkan terkadang berisiko pada kematian. Gejala ini berkembang dan berubah dalam berbagai bentuk kompleksitasnya, tetapi bagaimanapun bentuknya tetap sebagai perbudakan. Selama ini banyak masyarakat menganggap bahwa perdagangan orang hanya terbatas pada bentuk prostitusi saja, pada hal dalam kenyataannya mencakup banyak bentuk lain dari kerja paksa. Oleh karena itu isu perdagangan orang ini sekarang menjadi isu besar yang menarik perhatian masyarakat luas baik regional maupun internasional.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan instrumen untuk melindungi masyarakat dari bahaya tindak pidana perdagangan orang. Akan tetapi, patutlah diwaspadai bahwa karakteristik tindak pidana perdagangan orang ini, bersifat khusus dan merupakan extra ordinary crime, karena banyak melibatkan aspek yang kompleks, dan bersifat transnasional organized crime, karena melintasi batas-batas negara serta dilakukan oleh organisasi yang rapi dan tertutup. Dengan demikian, strategi penanggulangan dan pemberantasannya harus secara khusus pula. Oleh karena itu, diperlukan profesionalisme dan kehandalan para penegak hukumnya untuk memahami ketentuan hukumnya dan melakukan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan. Disamping dukungan masyarakat melalui advokasi dan pemberdayaan seluruh lapisan masyarakat, sehingga diharapkan tindak pidana perdagangan orang ini dapat ditekan bahkan diberantas.

Daftar Pustaka

Muhammad Kemal Darmawan, Pemberdayaan Korban Perdagangan Manusia, dalam Victimologi Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan : Jakarta, FISIF UI Press, 2011, halaman 111.
Arif Gorsita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hal. 46.
Harkristuti Harkrisnowo: Jakarta, Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia, Sentra HAM Universitas Indonesia, 2003.
Dra. Dtp. Kusumawardhani, M.Si, Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa Lipi Tahun 2010, “Human Trafficking: Pola Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu Terhadap perdagangan perempuan.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia Tahun 2004-2005.
Pigay, N, Migrasi dan penyelundupan manusia : 2005. http://www.nakertrans.go.id
Jurnal ELSAM seri ( 6, September 2005). Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP.
Jurnal Perempuan 36, untuk pencerahan dan kesetaraan, Pendampingan Korban Trafiking, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, Juli 2004, hal 8.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Convention against Transnational Organized Crime yang diselenggarakan di Palermo Itali Tahun 2000 dalam Bahan Kuliah Mahasiswa S2 STIK Angkatan I, tanggal 25 Januari 2012.
International Organization for Migration (2008), Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, hal. 18.
HAM Dalam Praktek, Panduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak : Jakarta, Global Alliance Against Traffic in Women, 1999.

Share this:
Surat elektronikCetak

Posted in Terrorisme, radikalisme dan Kejahatan Transnasional and tagged ANTI TERROR, BANJIR, DAS, GARIS POLISI, HAK TERSANGKA, hukum, HUMAN SECURITY, HUMAN TRAFFICKING, HUTAN, HUTAN LINDUNG, ILLEGAL LOGGING, JEPANG, KAJIAN KEAMANAN, KAMNAS, KEJAHATAN LINTA S BATAS, KEMANUSIAAN, KEMENTRIAN LINGKUNGAN HIDUP, KERJASAMA, KORUPSI, legalitas, LONGSOR, MIRANDA RULE, MIRANDA WARNING, OLAH TKP, PEMBALAKAN LIAR, PENAHANAN, penangkapan, PENEGAKKAN HUKUM, PENGGELEDAHAN, PENYELIDIK, penyelundupan manusia, PENYIDIK, PEOPLE SMUGGLING, perdagangan manusia, perkembangan dan pencegahan kejahatan, POLICE LINE, POLICE SNIPER, POLMAS, POLRI, PPNS, prosedur, PUBLIC GOODS, RULE OF CONDUCT, SDA, STUDI KEAMANAN, SUMBER DAYA ALAM, TEMPAT KEJADIAN PERKARA, TKP, TNI, TPTKP, transnasional, TUGAS POLISI, undang undang, UPAYA PAKSA, use of force, ZEMI on Oktober 9, 2012. Tinggalkan komentar
“PERAN PENYIDIK POLWAN (SUB UNIT PPA) DI POLSEK UNTUK MENCEGAH TERJADINYA VIKTIMISASI TERHADAP PEREMPUAN (PENJAJA SEKS KOMERSIAL/PSK) KORBAN HUMAN TRAFFICKING PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN”
“PERAN PENYIDIK POLWAN (SUB UNIT PPA) DI POLSEK
UNTUK MENCEGAH TERJADINYA VIKTIMISASI TERHADAP
PEREMPUAN (PENJAJA SEKS KOMERSIAL/PSK) KORBAN HUMAN TRAFFICKING
PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN”

oleh : REKAN UNTUNG
Pendahuluan
Pada kenyataannya, karena pada hakikatnya setiap manusia adalah memiliki kehendak bebas (free will) dan dorongan hawa nafsu birahi yang besar untuk berhubungan seks, maka banyak sekali praktek-praktek seks yang terjadi dengan melanggar aturan maupun norma-norma yang ada. Adanya demand atau permintaan yang besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang menghendaki hubungan seks bebas tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah, telah memunculkan praktek prostitusi di mana-mana. Kondisi ini akan mendorong tersedianya supply untuk memenuhi permintaan tersebut yaitu berupa wanita-wanita pemuas nafsu laki-laki yang dalam istilah di Indonesia adalah penjaja seks komersial (PSK).
Pada awalnya para wanita tersebut melakukan hal ini dengan kesadaran sendiri dikarenakan berbagai alasan seperti contoh kondisi ekonomi mereka yang serba pas-pasan, tidak memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, hubungan rumah tangga yang rusak, atau pelarian dari kondisi yang broken home. Hal tersebut pada akhirnya mendorong munculnya berbagai lokalisasi prostitusi legal dengan alasan untuk membantu mereka-mereka yang memilih mata pencaharian ini dan agar kegiatan prostitusi ini dapat lebih mudah dikontrol oleh pemerintah guna menghindari penyebaran penyakit kelamin serta tidak mengganggu kehidupan masyarakat lainnya.
Akan tetapi dengan berkembangnya dunia hiburan malam di dunia dan khususnya di Indonesia, maka dunia prostitusi menjadi semakin beragam. Praktek prostitusi tidak lagi dominan dilakukan dilokalisasi-lokalisasi melainkan menjelma menjadi lebih beragam lagi dalam berbagai macam bentuk. Sebagai contoh nyata keberagaman tersebut antara lain yaitu, munculnya wanita-wanita pendamping ditempat-tempat karaoke, penari-penari telanjang di hiburan-hiburan malam, sexy dancer, pendamping permainan bilyard yang merangkap sebagai penjaja seks, hingga menjadi pemijit plus-plus di panti-panti pijit mesum.

Fenomena Maraknya Praktek Prostitusi Menjadi Salah Satu Faktor Penyebab Human Trafficking
Dengan kebutuhan akan wanita-wanita penghibur sekaligus penjaja seks ini semakin banyak, maka semakin besar juga supply yang harus disediakan oleh para mucikari dan penyedia wanita-wanita penjaja seks tersebut. Kondisi inilah yang kemudian mendorong munculnya berbagai macam kasus human trafficking dengan korban-korbannya adalah para wanita. Pada akhir-akhir ini, korban tindak pidana human trafficking tersebut semakin mengkhawatirkan, karena telah melibatkan anak-anak perempuan dibawah umur, baik yang masih berstatus pelajar maupun mereka yang telah putus sekolah.
“ Perempuan belasan tahun diambil dari rumahnya dengan tipuan atau penculikan, dibawa bermigrasi jauh dari kampung halamannya, kerumah-rumah bordil dengan kondisi yang tidak layak huni, untuk seterusnya diberi pekerjaan yang merendahkan, yaitu melayani nafsu para laki-laki. Mereka tidak saja hidung belang yang kere, tetapi juga laki-laki terhormat, berkantung tebal, dan terpandang dalam masyarakat. Kemiskinan dan kelaparan yang membelit, merupakan penyebab utama dibawanya anak-anak perempuan sejak umur sangat muda, 11 tahun, dari desanya. Tidak sedikit dari mereka yang mati dan sekarat sebelum mencapai umur 20 tahun karena menderita penyakit kelamin atau TBC. Sejak mereka diambil dari rumahnya, mereka sudah dinyatakan terlibat hutang, yang harus dilunasi sepanjang hidup mereka dengan menjajakan tubuhnya. ”
Kasus human trafficking dengan korban gadis-gadis remaja ini pada umumnya menimpa mereka yang berasal dari desa-desa. Dorongan hasrat untuk merubah peruntungan hidup secara instan, telah mendorong para remaja ini untuk meninggalkan desanya menuju Ibu Kota Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Sayang sekali bekal ilmu pengetahuan secara formal yang dimiliki sangat terbatas, karena sebagian besar hanya lulusan SMU atau bahkan hanya lulusan SLTP. Kondisi ini jelas membuat kesempatan yang mereka miliki untuk mendapatkan pekerjaan formal yang layak dan legal di perkantoran swasta maupun pemerintah, sangat terbatas. Hal tersebut masih di tambah dengan kerasnya persaingan mendapatkan pekerjaan, sehingga tak banyak diantara mereka yang tidak kunjung mendapat pekerjaan.
Biaya kehidupan di kota untuk makan sehari-hari, transport kesana kemari mencari pekerjaan dan bayar uang kos untuk tempat tinggal sementara, jelas menguras habis seluruh modal uang yang dibawa dari desa. Dari sini cerita hidup mereka kemudian mulai mengalami perubahan. Tuntutan kehidupan lahiriyah sehari-hari telah membawa mereka kedalam lubang-lubang hutang piutang. Rasa malu untuk minta uang ke orang tua atau bahkan kembali pulang ke desa, pada akhirnya telah memaksa mereka untuk melakukan segala cara untuk membayar hutang-hutang tersebut.
Dalam situasi yang serba sulit, mereka akan menjadi sasaran empuk bagi para calo dan mucikari yang sengaja mencari buruan baru dengan tujuan untuk di terjunkan dalam dunia prostitusi dan eksploitasi seks. Para calo dan mucikari ini kebanyakan adalah mereka yang berada dalam lingkungan dunia prostitusi di lokalisasi-lokalisasi dan bisnis seks yang berbalut gemerlapnya dunia hiburan malam. Mereka memanfaatkan kondisi para korbannya yang sedang kesulitan ekonomi, labilnya kondisi psikologis korban yang masih remaja, serta kesamaan kesukuan atau kedaerahan antara para mucikari dan korban.
Perkembangan globalisasi dunia yang diikuti dengan berkembangnya kelompok-kelompok sindikat pelaku kejahatan transnasional (transnational organized crime) semakin menambah maraknya praktek human trafficking. Pada umumnya sindikat ini bergerak dibidang bisnis pelacuran dan perdagangan narkoba. Sebagai contoh yaitu Yakuza yang merupakan kelompok pelaku kejahatan transnasional yang berpusat di Jepang dan Triad di Cina. Kedua kelompok sindikat ini bergerak aktif dalam bisnis pelacuran di negara masing-masing dan di dunia .
Pergerakan kelompok-kelompok sindikat pelaku kejahatan transnasional yang bergerak di bisnis prostitusi, membutuhkan supply wanita-wanita muda untuk memenuhi kebutuhan pangsa pasar seks di dunia yang cukup besar. Kondisi inilah yang mendorong mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan target buruannya melalui para calo di berbagai negara termasuk Indonesia. Kegiatan dari para calo-calo tersebut membawa dampak yang cukup signifikan dalam mendorong terjadinya praktek human trafficking dengan korban para wanita muda dan anak-anak yang akan dipekerjakan dalam bisnis prostitusi di negara-negara tujuan.
Di Indonesia, para calo ini banyak yang tumbuh subur dengan berkedok sebagai penyalur jasa tenaga kerja keluar negeri. Kegiatan mereka sulit di deteksi oleh petugas keamanan maupun masyarakat umum karena dalam merekrut calon korban yang nantinya akan dipekerjakan dalam bisnis prostitusi di luar negeri, mereka mengemasnya secara rapi dalam bingkai bisnis pengiriman tenaga kerja wanita yang legal. Bahkan terkadang para korbannya pun juga tidak menyadari bahwa mereka akan di eksploitasi sebagai pelacur diluar negeri, karena terbuai oleh berbagai bujuk rayu dan tipu muslihat yang di lakukan oleh para calo ini.
Fenomena ini semakin tidak dapat dihindari oleh korban ketika terdapat beberapa faktor yang melingkupi kehidupan keseharian dari calon korban antara lain : kondisi ekonomi lingkungan di sekitar tempat tinggal korban yang berada pada golongan menengah ke bawah; kehidupan korban dan keluarganya yang miskin; budaya masyarakat sekitar yang menganggap bahwa anak adalah sebagai asset dari keluarga yang dapat berguna untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya nanti, terutama anak perempuan yang di harapkan bisa bekerja sebagai tenaga kerja diluar negeri dan akan dapat menghasilkan banyak uang; budaya sukses faktor yaitu melihat tetangga sekitarnya yang anak perempuannya sukses ketika bekerja diluar negeri sehingga dapat meningkatkan kehidupan keluarganya di kampung; pendidikan masyarakat yang pada umumnya rendah; serta budaya kawin muda yang menyebabkan banyak pasangan yang cerai muda sehingga para wanitanya membutuhkan pekerjaan yang mudah dan dapat menghasilkan uang banyak untuk menghidupi diri sendiri maupun anak hasil perkawinan tersebut .
Praktek human trafficking yang berkedok pengiriman tenaga kerja ke luar negeri ini sepintas memiliki kemiripan dengan praktek people smuggling atau penyelundupan orang. Akan tetapi apabila dicermati maka terdapat beberapa perbedaan antara lain yaitu : dalam human trafficking, tidak ada persetujuan dari koban sedangkan dalam people smuggling, migran sadar dan setuju untuk diselundupkan ke luar negeri; hubungan antara trafficker dalam human trafficking dan korban terus berlanjut dan menghasilkan keuntungan bagi trafficker, sedangkan dalam people smuggling, hubungan antara smuggler dan migran berakhir setelah migran memasuki wilayah tujuan; human trafficking tidak selalu berupaya melintasi batas negara (bisa juga terjadi di dalam negeri), sedangkan people smuggling selalu berupaya melintasi batas negara secara ilegal; keuntungan trafficker dalam human trafficking bersumber dari eksploitasi atas korban, sedangkan keuntungan smuggler dalam people smuggling berasal dari pembayaran migran untuk mengantarkan mereka .
Trend global human trafficking ini mencapai aset dan omset miliaran dolar, dengan kisaran perkiraan setinggi 10 miliaran dolar setiap tahun yang melibatkan sekitar 700,000 – 2 juta perempuan dan anak-anak di seluruh dunia. Tahun 2005 ILO Global Report on Forced Labour memperkirakan hampir 2.5 juta orang dieksploitasi melalui perdagangan menjadi buruh di seluruh dunia, dan lebih dari setengahnya berada di wilayah Asia dan Pacific dimana 40%nya adalah anak-anak .

Berbagai Modus Operandi dalam Human Trafficking
Proses terjadinya human trafficking terhadap korban perempuan dan anak dapat dilihat dari mulai perekrutan, pemindahan, pemindahtanganan, penampungan sementara atau di tempat tujuan, dengan cara menggunakan ancaman, kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan ilegal, yang hal tersebut dilakukan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk paedophili), buruh migran ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, penjualan organ tubuh, atau untuk tujuan lain yang sejenis dengan untuk maksud memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dan atau kelompok orang tertentu .
Barry dalam sebuah teorinya menunjukkan bahwa secara empiris perempuan telah dipaksa masuk kedalam dunia prostitusi melalui praktek-praktek penipuan. Praktek tersebut dapat berupa janji-janji pekerjaan, perkawinan atau perbudakan terselubung melalui cinta dan kesetiaan, peculikan atau bahkan pemenjaraan. Selanjutnya menurut Barry, perbudakan seks dapat terjadi di semua situasi ketika perempuan dan anak-anak perempuan tidak mampu mengubah kondisi mereka seketika : manakala mereka tidak mampu keluar dari situasi mereka dan mereka menjadi subyek kekerasan seksual serta eksploitasi.
Berbagai macam bentuk cara atau modus operandi dalam human trafficking ini, dilakukan oleh para mucikari atau para penyedia wanita-wanita penjaja seks tersebut untuk mendapatkan buruannya demi memenuhi target yang mereka. Modus operandi yang mereka pakai adalah dengan mengiming-imingi mereka untuk bekerja sebagai pelayan toko, pekerja rumah tangga, bekerja dipabrik dengan upah yang besar, bahkan ada juga calo yang berkedok sebagai duta pertukaran kebudayaan antar bangsa. Modus operandi yang terakhir ini biasanya mencari perempuan muda yang tertarik dibidang kesenian, seperti menari dan menyanyi. Mereka menjanjikan kepada calon korbannya untuk tampil dibeberapa negara sebagai duta kesenian. Untuk kasus-kasus seperti ini, seringkali mereka akan berakhir ditempat-tempat prostitusi.
Sarana yang di gunakan oleh para pelaku human trafficking antara lain yaitu menggunakan jalur udara dengan pesawat, jalur laut dengan menggunakan kapal laut, jalur darat dengan kereta api, mobil, bus, truk, sampai ada yang berjalan kaki. Sedangkan metode dalam melakukan aksinya tersebut, mereka menggunakan metode secara terang-terangan (Overt) dan sembunyi-sembunyi (covert). Metode Covert yaitu menggunakan sarana kendaraan, kereta, perbatasan tanpa penjagaan (melalui jalan-jalan tikus, pelabuhan kecil dll). Metode Overt yaitu menggunakan sarana identitas atau dokumen perjalanan asli atau dipalsukan (visa palsu) .
Rute pergerakan human trafficking dari Indonesia adalah berasal dari daerah-daerah di Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Tanjung Balai Karimun, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan (Makassar), Sulawesi Utara (Manado). Selanjutnya para calon korban di transitkan sementara di daerah Medan, Batam, Tanjung Pinang, Lampung, Jakarta, Pontianak dan Makassar, sebelum mereka dikirim ke negara tujuan seperti Australia, Singapore, Malaysia, Brunai, Thailand, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea, Kuwait, Iraq, Saudi Arabia, & Eropa. Selain dikirim ke luar negeri, banyak juga diantara para korban yang di kirim ke daerah-daerah tujuan trafficking yang berada di dalam negeri seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan .

Karakteristik dan Traumatis Korban Human Trafficking
Karakteristik perempuan yang paling utama adalah posisinya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang meliputi : Pada umumnya para pekerja seks berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah, yaitu masyarakat yang tidak memiliki lahan untuk digarap atau modal untuk bekerja sehingga kebanyakan dari mereka adalah pengangguran; Pernah mengalami luka emosional seperti sakit hati karena dikhianati laki-laki. Hal ini merupakan imbas dari kebiasaan berselingkuh diantara anggota masyarakat, sehingga tidak sedikit yang telah melakukan hubungan dengan pasangan yang telah memiliki keluarga atau mengalami trauma akibat pemerkosaan dan hamil diluar nikah; Pernikahan diusia dini yang mengakibatkan banyaknya perceraian. Tingginya angka perceraian merupakan kesempatan besar bagi para germo untuk mengajak dan menawarkan jasa perantara kepada para perempuan ini untuk menjadi seorang pekerja seks.
Selain itu, karakter individual yang juga turut mendorong timbulnya prostitusi meliputi : Rendahnya tingkat pendidikan; Bagi perempuan yang sudah menikah mereka memiliki keinginan untuk patuh dan takut pada suami yang meminta mereka untuk menjadi pekerja seks serta keinginan untuk membahagiakan keluarga; Sikap tidak kontrol dalam berinteraksi dengan lawan jenis; Kemolekan fisik sebagai satu-satunya modal dasar; Keinginan tinggi untuk dihargai masyarakat.
Trauma yang dirasakan korban perdagangan perempuan yaitu pada saat perekrutan : Sebagian korban telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga akibat pemukulan yang dilakukan oleh suami atau anggota keluarga yang lainnya. Korban juga mungkin terguncang ketika mengetahui suami atau pacarnya mengkhianati dirinya. Kekerasan-kekerasan inilah yang menjadi penyebab perempuan lari dari rumah; Perempuan korban tiba-tiba harus dibawa jauh pada suatu tempat yang tidak ia ketahui, dikelilingi oleh orang-orang yang tidak mereka kenali, dan disekap dalam sebuah tempat yang terisolasi; Mereka mengalami kekecewaan yang luar biasa setelah calo atau agen yang biasanya adalah orang dekat bahkan keluarganya sendiri, ternyata menelantarkan dan menjerumuskan dirinya.
Pada saat pemindahan atau pengiriman : Biasanya mereka diangkut oleh alat transportasi yang jauh dari nyaman. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi, pada waktu yang tidak lazim (tengah malam atau menjelang fajar), dan melalui perjalanan (darat atau laut) yang sangat berat; Seringkali selama perjalanan mereka tidak diberikan makanan, obat atau kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya, apalagi yang menyangkut dengan kepentingan reproduksi perempuan; Selama perjalanan mereka biasanya dilarang berkomunikasi satu sama lain. Diantara mereka diciptakan suasana saling curiga dan tidak percaya. Mereka juga dilarang berkomunikasi dengan orang luar yang tidak mereka kenali.
Pada saat penempatan/bekerja : Mereka kehilangan harga dirinya karena harus menjalani perkosaan demi perkosaan; Tidak jarang mereka harus berhadapan dengan tamu yang gemar memukuli, memiliki gangguan kejiwaan seksual, atau memiliki penyakit-penyakit kelamin (HIV atau sifilis) yang dapat menulari bahkan membahayakan hidup dirinya; Mereka menemukan dirinya dalam keadaan terjerat hutang yang sangat banyak. Mereka terpaksa harus mengorbankan tubuhnya dieksploitasi untuk membayar hutang; Mereka juga harus berhadapan dengan tukang pukul atau centeng yang tak segan menyiksa jika diketahui memiliki niat untuk melarikan diri; Tak ada lagi orang yang dapat mereka percaya. Terutama ketika mereka mengetahui aparat negara atau penegak hukum yang seharusnya melindungi dirinya ternyata telah menjadi bagian dari kejahatan.
Pada saat pemulangan : Mereka mengalami ketidakpastian nasib. Mereka sangat khawatir dengan keselamatan dirinya. Bahkan pada saat pemulangan akibat ketidaktahuan, mereka kembali terjebak oleh calo-calo dan menjadi korban untuk kesekian kalinya. Jika hal ini terjadi maka trauma yang dirasakan korban akan semakin berat; Jika pun mereka sampai di tempat asalnya, mereka menghadapi stigma masyarakat sebagai pelacur atau manusia kotor. Tak jarang masyarakat sering mengusir korban perdagangan perempuan yang telah terkena stigma ini karena dinilai hanya akan mencoreng nama baik desa atau kampung.

Aturan Hukum Untuk Mencegah dan Memberantas Human Trafficking terhadap Perempuan Dalam Bisnis Seks
Untuk mencegah dan memberantas perdagangan manusia (human trafficking) PBB telah membuat sebuah protokol yaitu United Nation Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children, supplemented the UN Convention Against Transnational Organized Crime disebut UN Trafficking Protocol (Protokol Palermo) yang ditanda-tangani oleh Pemerintah Indonesia tanggal 12 Desember 2000. Protokol ini untuk mencegah, memberantas dan menghukum tindak pidana perdagangan orang terutama terhadap wanita dan anak-anak, yang merupakan bagian dari konvensi pemberantasan kejahatan transnasional yang diselenggarakan di Palermo Itali tahun 2000.
United Nation Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children, supplemented the UN Convention Against Transnational Organized Crime disebut UN Trafficking Protocol (Protokol Palermo) yang ditanda-tangani oleh Pemerintah Indonesia tanggal 12 Desember 2000, Pasal 3 huruf (a) Protokol Palermo mendefinisikan perdagangan orang sebagai : “Human trafficking is the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs” (Perdagangan orang pada manusia berarti perekrutan, pengiriman ke suatu tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan, penipuan, penganiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapatkan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi, setidaknya, mencakup eksploitasi melalui pelacuran, melalui bentuk lain eksploitasi seksual, melalui kerja paksa atau memberikan layanan paksa, melalui perbudakan, melalui praktek-praktek serupa perbudakan, melalui penghambaan atau melalui pemindahan organ tubuhnya).
Pemerintah Indonesia menindaklanjuti Protokol Palermo tersebut dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mengatur tentang perdagangan orang antara lain dalam Pasal 1 butir (1) : “Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Pasal 1 butir (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : “Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : “Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : “Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : “Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”

Perbedaan Perlakuan Hukum antara Korban dan Tersangka dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Dalam pengaturan hukum di Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Berbagai perundang-undangan yang ada lebih fokus kepada tersangka, karena titik ujung penegakan hukum dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah lebih kepada kepastian hukum. Tentu saja tolok ukur dari sebuah kepastian hukum adalah dihukumnya seorang tersangka sebagai pertanggungjawaban hukum atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Kondisi ini berimbas pada pengaturan hak-hak tersangka selama dalam proses peradilan yang lebih dominan diatur daripada hak-hak koban.
Perlakuan aturan hukum yang lebih istimewa terhadap tersangka dapat kita lihat sejak suatu kasus baru masuk pada tahapan penyidikan baik di penyidik kepolisian maupun di Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Seorang tersangka yang sedang diperiksa dalam perkara tindak pidana yang diancam hukuman 5 (lima) tahun atau lebih, sesuai dengan yang di atur dalam Pasal 56 KUHAP , maka apabila ia tidak memiliki penasehat hukum, negara wajib memberikan pendampingan hukum dengan menunjuk penasehat hukum untuknya.
Hal ini jelas sangat berbeda dengan perlakuan hukum terhadap korban. Pada saat korban melaporkan suatu tindak pidana yang terjadi kepadanya, dan selanjutnya korban dimintai keterangan oleh penyidik, seringkali korban hanya sendirian tanpa didampingi oleh penasehat hukum. Kondisi ini terjadi selain karena kemungkinan korban tidak memiliki penasehat hukum sendiri, juga karena undang-undang tidak memerintahkan kepada negara untuk menyediakan bantuan hukum bagi korban tindak pidana, sebagaimana yang diberikan kepada tersangka.
Sistem hukum yang berlaku di Indonesia memperlihatkan bahwa peran korban hanya sebatas sebagai pelapor dan saksi. Ketika suatu perbuatan dirumuskan sebagai perbuatan pidana, maka segala reaksi formal yang perlu dilakukan terhadap perbuatan itu menjadi hak monopoli aparat penegak hukum. Hak korban dalam menuntut pertanggung jawaban hukum terhadap tersangka, secara otomatis telah berpindah kepada aparat penegak hukum yang berada dalam sistem peradilan pidana. Pada tingkat pemeriksaan, hak korban telah diwakili oleh penyidik (Polri, PPNS, dll) , pada tingkat penuntutan, hak tersebut telah di wakili oleh Penuntut Umum (Jaksa) dan pada tingkat persidangan, hak korban telah diwakili oleh pengadilan (Hakim).

Bentuk Viktimisasi yang dilakukan oleh Penyidik Polri terhadap Perempuan Korban Human Trafficking dalam Proses Penyidikan di Kepolisian
Perempuan korban human trafficking adalah sosok yang rentan untuk kembali terviktimisasi. Kasus pidana yang menimpa mereka yang pada umumnya adalah untuk kepentingan bisnis seks, telah melemahkan mental, psikologis dan juga fisik. Kondisi seperti ini jelas sangat tidak mendukung bagi mereka untuk dapat menuntut haknya terhadap para tersangka, melalui mekanisme dalam sistem peradilan pidana yang berlaku.
Sistem peradilan pidana di Indonesia yang masih fokus pada tersangka dan kurang memperhatikan hak-hak korban, menjadi momok yang seringkali justru menjadikan para korban human trafficking ini mengalami viktimisasi yang kedua kalinya. Proses peradilan yang panjang dan berbelit mengikuti jalur birokrasi yang ada, telah menempatkan korban pada situasi yang sulit. Pada satu sisi, korban sudah terlanjur melaporkan tindak pidana yang telah menimpanya demi memperjuangkan hak-haknya terhadap tersangka, tetapi di sisi lain, korban harus kembali bergulat dengan permasalahan yang pernah menimpanya tersebut. Proses ini harus dijalani oleh korban sejak tahap penyidikan, penuntutan hingga peradilan.
Pada tahap penyidikan di kepolisian, mekanisme yang harus di lalui oleh korban yaitu setelah korban melaporkan tindak pidana human trafficking yang menimpanya, mereka harus berhadapan dengan penyidik Polri untuk memberikan keterangan dalam berita acara pemeriksaan saksi korban. Pada kondisi ini, terdapat beberapa hal yang menjadikan para perempuan korban human trafficking ini mengalami viktimisasi oleh penyidik.
Bentuk viktimisasi yang dilakukan oleh penyidik terhadap korban human trafficking ini yang pertama yaitu seringkali korban dipaksa oleh penyidik untuk mengingat kembali dan menceritakan dengan detail kronologis yang telah membawanya hingga menjadi budak dalam bisnis seks, serta peristiwa-peristiwa yang telah mereka alami selama menjalani profesi tersebut. Pada sisi penyidik, hal ini adalah wajar demi mendapatkan fakta-fakta hukum dan alat bukti untuk menjerat tersangkanya. Hanya saja, bagi korban, hal ini secara tidak langsung akan menjadi beban psikologis yang justru akan membuatnya menjadi labil dan depresi.
Yang kedua yaitu pada umumnya kasus-kasus human trafficking ini adalah ditangani oleh penyidik Polri dari tingkat Mabes Polri, Polda, Polres hingga satuan setingkat Polsek sedangkan penyidik Polisi Wanita (Polwan) pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) hanya terdapat pada satuan Mabes Polri, Polda dan Polres. Untuk satuan setingkat Polsek, tidak memiliki penyidik Polisi Wanita (Polwan) dan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), sehingga yang menangani perkara ini di tingkat Polsek adalah polisi laki-laki.
Kondisi tersebut jelas tidak menguntungkan bagi para perempuan korban human trafficking dalam bisnis seks ini, karena kesan dan perlakuan seorang penyidik polisi laki-laki di bandingkan dengan penyidik polisi wanita akan memiliki perbedaan yang sangat mencolok terhadap korban yang adalah perempuan. Seorang penyidik polisi wanita akan cenderung lebih halus dan berperasaan dalam berkomunikasi dan memperlakukan korban, sehingga korban akan lebih nyaman, relaks dan mudah terbuka dalam memberikan keterangan terkait peristiwa yang menimpanya. Berbeda dengan penyidik polisi laki-laki yang cenderung kasar, keras nada bicaranya, dan tegas sehingga membuat korban cenderung takut, malu dan sulit terbuka.
Yang ketiga yaitu proses penyidikan yang memakan waktu cukup lama dan memakan biaya sendiri. Pada masa ini, aktivitas keseharian korban akan sangat bergantung pada penyidik. Korban menjadi tidak terlalu bebas untuk bepergian terutama keluar kota dalam waktu yang lama atau mencari pekerjaan keluar kota, karena merasa khawatir apabila sewaktu-waktu dipanggil kembali oleh penyidik untuk menjalani rangkaian pemeriksaan seperti pembuatan berita acara pemeriksaan lanjutan, konfrontasi, dan lain sebagainya. Selain waktu yang tersita, korban juga harus mengeluarkan biaya sendiri untuk ongkos mereka pulang dan pergi ke kantor polisi, atau untuk biaya makan selama menjalani pemeriksaan. Pendapatan mereka juga berkurang karena selama menjalani pemeriksaan di penyidik Polri, mereka tidak dapat bekerja sehingga tidak mendapatkan uang.
Yang keempat yaitu pada proses penyidikan dikepolisian, seringkali penyidik Polri mempersilahkan wartawan untuk mewawancarai atau mengambil foto korban. Hal ini sering di keluhkan korban karena pada hakekatnya korban tidak menghendaki dirinya di ekspos oleh media apalagi sampai foto dan identitas lengkap mereka di tampilkan secara gamblang oleh media. Para perempuan korban human trafficking menganggap bahwa peristiwa tindak pidana yang terjadi pada mereka adalah sebagai sebuah aib bagi mereka dan keluarganya, sehingga mereka cenderung menutupinya dari publik. Sangsi sosial yang begitu keras terhadap para perempuan yang berada dalam bisnis seks dan keluarganya, sangat ditakuti oleh para korban human trafficking ini. Sebenarnya korban berhak menolak untuk diwawancarai maupun diambil fotonya oleh wartawan, tetapi karena hal tersebut terjadi di kantor polisi dan pada saat mereka di periksa oleh penyidik, maka para korban ini tidak dapat melawan hal tersebut terjadi.

Peran Penyidik Polwan (Sub Unit PPA) Di Polsek dalam Mencegah Terjadinya Viktimisasi Terhadap Perempuan (Penjaja Seks Komersial/PSK) Korban Human Trafficking
Untuk mecegah terjadinya viktimisasi terhadap para perempuan korban human trafficking dalam bisnis seks oleh penyidik Polri pada tahap penyidikan di Polsek, maka perlu di bentuk Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek. Sub Unit ini beranggotakan penyidik-penyidik yang kesemuanya adalah polisi wanita (Polwan), dan secara struktural berada di dalam Unit Reserse kriminal yang ada di Polsek. Sub Unit PPA ini di awaki setidaknya oleh 3 (tiga) orang penyidik polisi wanita (Polwan) ditambah 1 (satu) orang Polwan selaku Kasubnit.
Sub Unit PPA ini memiliki tugas dan peran yang pertama adalah melakukan penyidikan tindak pidana human trafficking dan tindak pidana lainnya, yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Pada tahap ini, para penyidik harus dapat berkomunikasi dan memperlakukan korban dengan menggunakan sentuhan kewanitaan, sehingga korban akan lebih nyaman, relaks dan mudah terbuka dalam memberikan keterangan terkait peristiwa yang menimpanya. Selain itu penyidik juga harus aktif dan terampil dalam mengumpulkan alat bukti melalui pendekatan dengan korban sehingga dapat di tentukan tersangkanya hingga Berkas Perkara selesai dan dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum.
Tugas dan peran yang kedua yaitu memberikan bantuan psikologis kepada korban berupa pendampingan selama korban dalam proses penyidikan di Polsek. Untuk ini para penyidik polisi wanita (Polwan) tersebut harus dibekali dengan pengetahuan tentang ilmu psikologi. Harapannya adalah, dengan bekal pengetahuan tentang ilmu psikologi tersebut, maka para penyidik ini dapat menguatkan mental dan psikologis korban serta membantunya dalam memecahkan permasalahan yang dialami korban terkait dengan tindak pidana yang menimpanya.
Tugas dan peran yang ketiga yaitu menampilkan sosok penyidik Polri yang humanis, sehingga para perempuan dan anak-anak yang menjadi korban tindak pidana, khususnya tindak pidana human trafficking dalam bisnis seks, mau dan berani melaporkan tindak pidana yang menimpa mereka. Kesan humanis ini dapat dimunculkan dari para penyidik polisi wanita tersebut melalui cara berpakaian, cara bertegur sapa, cara berkomunikasi, cara melakukan investigasi dan lain sebagainya. Hal ini juga sangat berguna dalam melakukan koordinasi dengan stake holders yang ada seperti para wartawan, instansi pemerintah, swasta dan lain-lainnya, sehingga dapat berguna dalam mencegah tindak pidana terhadap perempuan dan anak serta meminimalkan viktimisasi terhadap para perempuan korban human trafficking dalam proses penyidikan di Polsek.

Perlunya Rekruitment Polisi Wanita Khusus Untuk Menjadi Penyidik Pada Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Tingkat Polsek
Berdasarkan data Subbag Polwan Mabes Polri, jumlah polwan hingga saat ini mencapai 10.067 orang atau sekitar 3,3% dari total anggota Polri.
Prosentasi Kenaikan jumlah Polwan dan kenaikan jumlah anggota Polri
2003 2004 2005 2006 2007
Polwan 8.189 8.989 9.789 10.589 11.389
Jumlah anggota Polri 264.666 289.666 314.666 339.666 364.666
Prosentase Jumlah Polwan 3,094% 3,103% 3,110% 3,117% 3,123%
Sumber: Makalah Irawati Harsono Gender Dalam Kepolisian
Fakta dilapangan, ketika penulis bertugas sebagai Kapolsek di Polresta Pekanbaru Polda Riau, Polsek tidak memiliki seorangpun polisi wanita (Polwan). Beberapa Polsek yang lain di jajaran kota Pekanbaru ada yang memiliki polisi wanita tetapi jumlahnya paling banyak hanya 2 (dua) orang. Untuk polsek-polsek yang berada di Kabupaten-kabupaten, bisa dipastikan sebagian besar tidak memiliki polisi wanita. Keberadaan Polwan lebih banyak dijumpai di Polres, Polda dan Mabes Polri. Itupun sebagian besar bertugas pada satuan fungsi lalu-lintas dan staf di beberapa satuan fungsi, direktorat atau biro. Begitu juga dengan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), yang secara struktural hanya ada di tingkat Polres, Polda dan Mabes Polri.
Kenyataan ini menuntut Polri untuk segera menambah jumlah personel polisi wanitanya terutama guna memenuhi kebutuhan sebagai penyidik di Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek. Sudah seharusnya Polsek di seluruh Indonesia terutama di wilayah perkotaan untuk memiliki penyidik-penyidik polisi wanita yang mengawaki Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tingkat Polsek. Hal ini untuk melindungi kepentingan para korban tindak pidana yang adalah kaum perempuan dan anak-anak sehingga dapat diminimalisir terjadinya viktimisasi terhadap mereka oleh para penyidik, karena semua Polsek juga berwenang untuk menangani tindak pidana yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak.
Upaya yang seharusnya dilakukan oleh Polri dalam memenuhi kebutuhan penyidik polisi wanita tersebut adalah dengan merekrut polisi wanita yang akan khusus dididik sebagai calon-calon penyidik pada Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tingkat Polsek. Pendidikan secara khusus ini diharapkan dapat langsung menghasilkan calon-calon penyidik polisi wanita yang sudah siap untuk melaksanakan tugas. Dengan upaya ini diharapkan, Polri kedepan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik lagi kepada masyarakat.

Kesimpulan
Maraknya praktek prostitusi pada saat ini telah mendorong munculnya berbagai macam kasus human trafficking dalam bisnis seks dengan korban-korbannya adalah para wanita. Akibat dari tindak pidana ini, para korban mengalami kondisi yang terviktimisasi dalam jangka waktu yang panjang yaitu selama menjalani profesi sebagai PSK atau pekerjaan lain yang serupa. Seringkali para korban yang melaporkan tindak pidana ini ke penyidik Polri terutama di tingkat Polsek, justru mendapat perlakuan dari penyidik yang secara tidak langsung telah membuat mereka kembali mengalami viktimisasi, selama proses penyidikan berlangsung. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu: penyidik di Polsek yang menangani perkara mereka adalah polisi laki-laki, cara penyidik berkomunikasi dan melakukan investigasi kurang selaras dengan perasaan korban yang adalah perempuan, proses penyidikan yang lama dan memakan biaya sendiri, serta penyidik seringkali memperbolehkan wartawan untuk mewawancarai, mengambil identitas lengkap dan mengambil foto korban pada saat pemeriksaan berlangsung.
Untuk mecegah terjadinya viktimisasi terhadap para perempuan korban human trafficking dalam bisnis seks oleh penyidik Polri pada tahap penyidikan di Polsek, maka perlu di bentuk Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek. Sub Unit PPA ini memiliki tugas dan peran melakukan penyidikan tindak pidana human trafficking dan tindak pidana lainnya, yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak; memberikan bantuan psikologis kepada korban berupa pendampingan selama korban dalam proses penyidikan di Polsek; dan menampilkan sosok penyidik Polri yang humanis. Untuk itu Polri dituntut segera menambah jumlah personel polisi wanitanya terutama guna memenuhi kebutuhan sebagai penyidik di Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek, dengan cara merekrut polisi wanita yang akan khusus dididik sebagai calon-calon penyidik pada Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tingkat Polsek.

Daftar Pustaka

• Golose, Petrus Reinhard. 2012. Trafficking In Person, Materi perkuliahan dalam Mata Kuliah Transnational Crime dan Radikalisme untuk Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Ilmu Kepolisian STIK-PTIK Angkatan I, Jakarta, Februari (sumber: UNODC, 2008:3).

• Harsono, Irawati. 2012. LBPP DERAP Warapsari, Perdagangan Orang, Gambaran Umum Perdagangan Orang di Tingkat Global dan Indonesia, Materi perkuliahan dalam Mata Kuliah Trafficking in Person untuk Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Ilmu Kepolisian STIK-PTIK Angkatan I, Jakarta, Juni.

• Hardani, Syafira. 2004. Pentingnya Peran Negara Dalam Proses Pemulihan Korban, Jurnal Perempuan Edisi 36, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, Juli.

• Irianto, Sulistyowati. 2005. Kata Pengantar dalam buku Sex Slaves, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

• Iswarini, Sri Endras. 2004. Kelompok Survivor: Belajar Dari Pengalaman Perempuan Korban Traficking, Jurnal Perempuan Edisi 36, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, Juli.

• Lutan, Ahwil. 1997. Kejahatan Terorganisasi Dunia ( di sadur dari buku Crime Zoom) yang di terbitkan oleh Kantor Berita Italia “Agenzia Ansa”, Jakarta : Sekretariat NCB-Interpol Indonesia.

• Mansur, Didik M. Arief dan Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, “Antara Norma dan Realita”, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

• Rahmani, Ima Sri. 2004. Pendampingan Komunitas Penghasil Pekerja Seks : Upaya Menekan Angka Korban Traficking, Jurnal Perempuan Edisi 36, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, Juli.

• Redaksi. 2004. Kata dan Makna, Jurnal Perempuan Edisi 36, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, Juli.

• Sentika, Rachmat. 2012. Fenomena di balik Tindak Pidana Perdagangan Orang, Materi perkuliahan dalam Mata Kuliah Trafficking in Person untuk Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Ilmu Kepolisian STIK-PTIK Angkatan I, Jakarta, 21 Juni.

• Soerodibroto, Soenarto. 2001. KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa.

• IOM. 2008. Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta, IOM Misi di Indonesia.

• UNODC. 2008: 3. Tujuan trafficking in person.

• Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

• Widiartana, G. 2009. Viktimologi dan Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta : Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

• RZK,”Hasrat Polri Memahami Gender”, dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20540/hasrat-polri-memahami-gender, 21 November 2008.

Share this:
Surat elektronikCetak

Posted in klinik kriminal and tagged ANTI TERROR, BANJIR, DAS, GARIS POLISI, HAK TERSANGKA, hukum, HUMAN SECURITY, HUMAN TRAFFICKING, HUTAN, HUTAN LINDUNG, ILLEGAL LOGGING, JEPANG, KAJIAN KEAMANAN, KAMNAS, KEJAHATAN LINTA S BATAS, KEMANUSIAAN, KEMENTRIAN LINGKUNGAN HIDUP, KERJASAMA, KORUPSI, legalitas, LONGSOR, MIRANDA RULE, MIRANDA WARNING, OLAH TKP, PEMBALAKAN LIAR, PENAHANAN, penangkapan, PENEGAKKAN HUKUM, PENGGELEDAHAN, PENYELIDIK, penyelundupan manusia, PENYIDIK, PEOPLE SMUGGLING, perdagangan manusia, perkembangan dan pencegahan kejahatan, POLICE LINE, POLICE SNIPER, POLMAS, POLRI, PPNS, prosedur, PUBLIC GOODS, RULE OF CONDUCT, SDA, STUDI KEAMANAN, SUMBER DAYA ALAM, TEMPAT KEJADIAN PERKARA, TKP, TNI, TPTKP, transnasional, TUGAS POLISI, undang undang, UPAYA PAKSA, use of force, ZEMI on Oktober 9, 2012. Tinggalkan komentar
BUAH SIMALAKAMA SENJATA API BAGI ANGGOTA POLRI
Share this:
Surat elektronikCetak

Posted in konflik dan resolusi sosial and tagged ANTI TERROR, BANJIR, DAS, GARIS POLISI, HAK TERSANGKA, hukum, HUMAN SECURITY, HUMAN TRAFFICKING, HUTAN, HUTAN LINDUNG, ILLEGAL LOGGING, JEPANG, KAJIAN KEAMANAN, KAMNAS, KEJAHATAN LINTA S BATAS, KEMANUSIAAN, KEMENTRIAN LINGKUNGAN HIDUP, KERJASAMA, konflik dan resolusi sosial, KORUPSI, legalitas, LONGSOR, MIRANDA RULE, MIRANDA WARNING, OLAH TKP, PEMBALAKAN LIAR, PENAHANAN, penangkapan, PENEGAKKAN HUKUM, PENGGELEDAHAN, PENYELIDIK, penyelundupan manusia, PENYIDIK, PEOPLE SMUGGLING, perdagangan manusia, POLICE LINE, POLICE SNIPER, POLMAS, POLRI, PPNS, prosedur, PUBLIC GOODS, RULE OF CONDUCT, SDA, STUDI KEAMANAN, SUMBER DAYA ALAM, TEMPAT KEJADIAN PERKARA, TKP, TNI, TPTKP, transnasional, TUGAS POLISI, undang undang, UPAYA PAKSA, use of force, ZEMI on Oktober 9, 2012. Tinggalkan komentar
KAJIAN TERHADAP UPAYA POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
KAJIAN TERHADAP UPAYA POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
by : kalam kelana

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kejahatan adalah bayang-bayang peradaban manusia (crime is the shadow of civilization), demikian dikatakan oleh Colin Wilson, seorang jurnalis asal Inggris, penulis buku A Criminal History of Mankind. Kejahatan selalu ada dan tetap melekat kepada setiap bentuk peradaban manusia . Tidak ada peradaban manusia yang luput dari fenomena perkembangan kejahatan. Kejahatan bukanlah sesuatu yang tetap dan pasti, namun sesuatu yang menyesuaikan dengan peradaban manusia.
Kejahatan dapat meningkat dan dapat pula menurun. Kejahatan juga dapat berkembang dan berubah-ubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan peradaban manusia. Fenomena ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah kejahatan dan beranekaragamnya jenis kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Semakin komplek suatu masyarakat, maka jumlah kejahatan semakin banyak, jenisnya semakin bervariasi dan modus operandinya semakin beragam.
Dalam perkembangannya, kejahatan berkembang salah satunya yang kita kenal dengan sebutan kejahatan transnasional. Kejahatan Transnasional menurut Neil Boister adalah: “certain criminal phenomena transcending international borders, transgressing the laws of national state or having an impact on another country” (Boister,2003:954) , sedangkan pengertiannya menurut G. O. W. Mueller yaitu: “transnational crime is a criminological rather than a juridical term, coined by the UN Crime Prevention and Criminal Justice Brand in order to identify certain criminal phenomena transcending international borders, transgressing the laws of several states or having an impact on another country” (Boister,2003:954) .
Karakteristik dari kejahatan transnasional menurut Pasal 3 Konvensi Palermo tahun 2000 adalah:
“(1) It is committed in more than one state (dilakukan di lebih dari satu negara); (2) It is committed in one state but a substantial part of its preparation, planning, direction or control takes place in another state (dilakukan di suatu negara, tapi kegiatan penting lainnya seperti persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian berada di negara lain); (3) It is commited in one state but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one state (dilakukan di suatu negara tetapi melibatkan suatu kelompok organisasi kriminal yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan kriminal di lebih dari satu negara); atau (4) It is committed in one state but has substantial effects in another state (dilakukan di suatu negara, tetapi mengakibatkan dampak-dampak substansial di negara lain)” .
Tidak semua kejahatan dapat digolongkan sebagai kejahatan transnasional. Menurut PBB, yang dikategorikan sebagai kejahatan transnasional meliputi: (1) Money laundering; (2) Terrorist activities; (3) Theft of art and cultural objects; (4) Theft of intellectual property; (5) Illicit traffic in arms; (6) Sea piracy; (7) Hijacking on land; (8) Insurance fraud; (9) Computer crime; (10) Environmental crime; (11) Trafficking in persons; (12) Trade human body part; (13) Illicit drug trafficking; (14) Fraud bankruptcy; (15) Infiltration of legal business; (16) Corruption; (17) Bribery of public officials; dan (18) Other offences committed by organized criminal groups. (Jay S. Albanese,2011:211) .
ASEAN, di Manila tanggal 20 Desember 1997, menyatakan kategori kejahatan transnasional meliputi: (1) Terrorism; (2) Illicit drugs; (3) Arms smuggling; (4) Trafficking in person; (5) Money laundering; (6) Arm robbery at sea; (7) Cybercrime; dan (8) International Economic Crime . Sedangkan, AMMTC, tahun 2001, menyatakan terdapat 8 (delapan) kategori kejahatan transnasional yaitu: (1) Terrorism; (2) Narcotic; (3) Trafficking in persons; (4) Money laundering; (5) Sea piracy; (6) Arms smuggling; (7) Cybercrime; dan (8) Economic International crime .
Traficking in person atau perdagangan orang merupakan salah satu bentuk kejahatan transnasional. Perdagangan orang menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 ialah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Perdagangan orang telah menjadi persoalan yang amat serius dan memprihatinkan di Indonesia. Menurut laporan US Departement of State yang dirilis pada tanggal 14 Juni 2010, Indonesia telah menempati urutan pertama di dunia sebagai pelaku perdagangan manusia . Sekitar tiga juta orang telah diperdagangkan di dan dari Indonesia . Menurut laporan tersebut, penempatan TKI di luar negeri oleh PJTKI secara legal maupun ilegal telah menjadi sarana perdagangan manusia, pelacuran, dan perbudakan modern.
PBB, berdasarkan survei UNHCR dan UNICEF, menganggap dan menjadikan Indonesia bukan lagi sekedar lokasi transit dan tujuan perdagangan manusia, melainkan sudah menjadi negara sumber dan pemasok praktek ilegal tersebut . Indonesia merupakan negara sumber utama perdagangan seks dan kerja paksa bagi perempuan, anak-anak, dan laki-laki, serta dalam tingkatan yang jauh lebih rendah menjadi negara tujuan dan transit perdagangan seks dan kerja paksa. Masing-masing propinsi dari 33 propinsi di Indonesia merupakan daerah sumber dan tujuan perdagangan manusia. Daerah sumber yang paling signifikan adalah Jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.
Sejumlah besar pekerja migran Indonesia menghadapi kondisi kerja paksa dan terjerat utang di di negara-negara Asia yang lebih maju dan Timur Tengah khususnya Malaysia, Arab Saudi, Singapura, Kuwait, Suriah, dan Irak. Jumlah WNI yang bekerja di luar negeri masih sangat tinggi, diperkirakan 6,5 juta sampai 9 juta pekerja migran Indonesia di seluruh dunia, termasuk 2,6 juta orang di Malaysia dan 1,8 juta orang di Timur Tengah. Diperkirakan 69 persen dari seluruh Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri adalah perempuan. IOM (International Organization for Migration) dan LSM anti perdagangan manusia terkemuka di Indonesia memperkirakan bahwa 43 sampai 50 persen atau sekitar 3 sampai 4,5 juta TKI di luar negeri menjadi korban dari kondisi yang mengindikasikan adanya perdagangan manusia .
Berbagai upaya untuk mencegah dan mengatasi perdagangan manusia telah dilakukan. Upaya-upaya tersebut antara lain: meratifikasi konvensi PBB terkait dengan perdagangan orang melalui UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang melalui Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008, membentuk Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Universitas Indonesia, mangklarifikasi peran BNP2TKI di luar negeri dalam menerapkan UU No. 39 Tahun 2009, dan lain sebagainya termasuk melalui upaya-upaya penegakan hukum oleh Polri.
Dalam bidang penegakan hukum, Polri telah berusaha menindak tegas setiap pelaku perdagangan orang yang tertangkap. Seperti akhir-akhir ini Polri berhasil membongkar sindikat perdagangan orang di Indramayu, Jawa Barat; Jakarta; Entikong, Kalimantan Timur; dan Kuching, Malaysia . Beberapa orang tersangka ditangkap, yaitu 2 (dua) WNI yang berperan sebagai perekrut korban dan mengirimkan korban ke Kalimantan Barat dan 1 (satu) orang Warga Malaysia sebagai pembeli, sementara itu, seorang WNI lagi masuk dalam daftar pencarian orang karena berperan mengirimkan korban ke Kuching, Malaysia. Mereka dijerat dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Meskipun telah dilakukan berbagai upaya penegakan hukum oleh Polri, Indonesia tetap tidak dapat menurunkan posisi teratasnya dalam perdagangan manusia. Pada Bulan Juni 2011, International Organization of Migration (IOM) mengumumkan hasil penelitiannya yang cukup mencengangkan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Indonesia kembali mempertahankan posisi di urutan teratas sebagai negara asal korban perdagangan orang. IOM mencatat 3.909 korban perdagangan orang yang berasal dari Indonesia. Korban-korban tersebut terdiri dari 90 persen perempuan dan 10 persen laki-laki dalam kategori dewasa serta 84 persen perempuan dan 16 persen laki-laki untuk kategori usia anak .

1.2. Permasalahan
Meskipun telah dilakukan berbagai upaya penegakan hukum oleh Polri, Indonesia tetap tidak dapat menurunkan posisi teratasnya dalam perdagangan manusia. Oleh karena itu, penulis menentukan permasalahan-permasalahan dalam tulisan ini meliputi:
a. Bagaimana kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia?;
b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia?; dan
c. Strategi apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia?

1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud penulis menyusun tulisan ini adalah: Pertama, Mendeskripsikan kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia; Kedua, menganalisa faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi penegakan hukum tersebut; dan Ketiga, merumuskan suatu strategi yang dapat diimplementasikan guna meningkatkan penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang di Indonesia. Tujuan penulis menyusun tulisan ini yaitu: Pertama, agar diketahui gambaran kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia; Kedua, agar dapat diketahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi kondisi penegakan hukum tersebut; dan Ketiga, agar dapat dirumuskan strategi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang sehingga diperoleh suatu rumusan strategi penegakan hukum yang dapat diimplementasi dalam pemberantasan terhadap tindak pidana tersebut.

BAB II
KAJIAN TEORITIS

2.1. Konsep Perdagangan Orang
UNODC, United Nations Office on Drugs and Crime mendefinisikan perdagangan orang sesuai dengan Lampiran II, Ketentuan Umum, Pasal 3, Ayat (a) dari Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons sebagai:
“rekrutmen, transportasi, transfer, menadah atau menerima manusia, dengan cara ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, dari penculikan, dari penipuan, dari kecurangan, dari penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mencapai persetujuan dari orang yang memiliki kontrol terhadap orang lain, untuk tujuan eksploitasi.”
Sedangkan definisi perdagangan orang menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 yaitu:
“tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi” .
Berdasarkan kedua konsep tersebut, definisi perdagangan orang mengandung beberapa unsur, yaitu: Pertama, tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang; Kedua, dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut; Ketiga, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara; dan Keempat, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Perdagangan orang yang dimaksud oleh penulis dalam tulisan ini yaitu: suatu tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

2.2. Konsep Penegakan Hukum
Konsep penegakan hukum menurut Jaksa Agung RI Hari Suharto, SH dapat diartikan sebagai berikut:
“Suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan mencakup keseluruhan kegiatan baik secara teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib demi untuk pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat”.
Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah suatu kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan, dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup . Pengertian yang diutarakan oleh Soerjono Soekanto ini sering disebut sebagai pengertian penegakan hukum secara luas.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. menyatakan bahwa penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara . Menurutnya, pengertian penegakan hukum dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu: dari sudut subyek dan dari sudut obyeknya.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Perserikatan bangsa-bangsa menggunakan pendekatan untuk menangani masalah perdagangan manusia berdasarkan pencegahan kejahatan, penjatuhan hukuman dan penjagaan korban. Pada tahun 2000, Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) membuat adalah Protokol Trafiking yang memiliki kerangka untuk menangani masalah perdagangan manusia yang dipanggil “Pendekatan 3P”, yaitu: Prevention, Prosecution and Protection (Pencegahan kejahatan, Penjatuhan hukuman dan Penjagaan korban) . Sejak itu, sedikitnya 155 negara sudah membuat hukum-hukum dan undang-undang berdasarkan “Pendekatan 3P” . Indonesia juga telah membuat hukum-hukum dan undang-undang untuk perdagangan manusia atas dasar pendekatan tersebut sejak 2007 .
Berdasarkan beberapa konsep penegakan hukum tersebut, nampak bahwa ada beberapa unsur dalam penegakan hukum yaitu: Pertama, rangkaian kegiatan dalam rangka usaha menyerasikan, menegakkan dan/atau melaksanakan norma-norma dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku; Kedua, bersifat penindakan maupun pencegahan mencakup keseluruhan kegiatan baik secara teknis maupun administratif; Ketiga, dilaksanakan oleh aparat penegak hukum; Keempat, untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya; dan Kelima, dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib demi untuk pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat.
Apabila penulis simpulkan dan kaitkan dengan tulisan ini, maka penegakan hukum dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai: rangkaian kegiatan dalam rangka menyerasikan, menegakkan dan/atau melaksanakan norma-norma dan ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan perdagangan orang yang berlaku yang bersifat penindakan maupun pencegahan mencakup keseluruhan kegiatan baik secara teknis maupun administratif dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum (Polri beserta pihak dan instansi terkait lainnya) untuk menjamin dan memastikan bahwa aturan tersebut berjalan sebagaimana seharusnya dan tujuan hukum tersebut dapat tercapai sesuai harapan. Upaya penegakan hukum tersebut meliputi tindakan-tindakan yang termasuk dalam “Pendekatan 3P”, yaitu: untuk pencegahan kejahatan, untuk penjatuhan hukuman, dan untuk penjagaan korban.

2.3. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Soerjono Soekanto, dalam bukunya “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, menyatakan bahwa ada lima faktor yang saling berkaitan sangat eratnya dan merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum . Kelima faktor tersebut yaitu:
a. Faktor hukumnya sendiri;
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut dapat digunakan untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang di Indonesia.

2.4. Teknik Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu metoda analisis yang digunakan untuk menentukan dan mengevaluasi, mengklarifikasi dan memvalidasi perencanaan yang telah disusun, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai . Analisis ini merupakan suatu metoda untuk menggali aspek-aspek kondisi yang terdapat di suatu wilayah yang direncanakan maupun untuk menguraikan berbagai potensi dan tantangan yang akan dihadapi dalam pengembangan wilayah tersebut.
Kata SWOT itu sendiri merupakan kependekan dari variabel-variabel penilaian, yaitu: S merupakan kependekan dari STRENGTHS, yang berarti potensi dan kekuatan pembangunan; W merupakan kependekan dari WEAKNESSES, yang berarti masalah dan tantangan pembangunan yang dihadapi; O merupakan kependekan dari OPPORTUNITIES, yang berarti peluang pembangunan yang dapat; dan T merupakan kependekan dari THREATS, yang merupakan faktor eksternal yang berpengaruh dalam pembangunan .
Analisis SWOT bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi pembangunan daerah. Sebagai sebuah konsep dalam manajemen strategik, teknik ini menekankan mengenai perlunya penilaian lingkungan eksternal dan internal, serta kecenderungan perkembangan/perubahan di masa depan sebelum menetapkan sebuah strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).
Sebagai salah satu alat untuk formulasi strategi, tentunya analisis SWOT tidak dapat dipisahkan dari proses perencanaan strategik secara keseluruhan. Secara umum penyusunan rencana strategik melalui tiga tahapan, yaitu: (a) Tahap pengumpulan data; (b) Tahap analisis; dan (c) Tahap pengambilan keputusan . Teknik ini akan penulis gunakan dalam menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang di Indonesia. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, penulis dapat menganalisa dan merumuskan suatu strategi yang sesuai guna meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang di Indonesia.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Kondisi Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang
Berdasarkan data dari laporan Trafficking in Person tahun 2011, Indonesia ditempatkan dalam kelompok Tier 2, yaitu negara dengan pemerintahan yang tidak sepenuhnya mematuhi standar minimum penghapusan perdagangan manusia, yang telah ditetapkan oleh The Trafficking Victims Protection Act (TVPA), tapi berupaya signifikan untuk memenuhi standar tersebut . Indonesia dianggap sebagai salah satu negara sumber perdagangan seks dan kerja paksa bagi perempuan, anak-anak, dan laki-laki dalam tingkatan yang jauh lebih rendah menjadi negara tujuan dan transit perdagangan seks dan kerja paksa .
Berdasarkan data survei dan data dari IOM (International Organization for Migration), pemerintah Indonesia dan sebuah LSM terkemuka yang bergerak di bidang anti-perdagangan di Indonesia, diperoleh fakta bahwa:
“(a) diperkirakan ada 6,5 juta sampai 9 juta TKI di seluruh dunia dan 69 persen diantaranya adalah perempuan; (b) terdapat 43-50 persen TKI di luar negeri menjadi korban dari kondisi yang mengidentifikasikan adanya perdagangan manusia; (c) dari 3.840 korban perdagangan manusia, 90 persen adalah perempuan dan 56 persen telah dieksploitasi dalam pekerjaan rumah tangga; (d) total 82 persen korban yang diidentifikasi pada tahun 2010 telah menjadi korban perdagangan manusia ke luar negeri, 18 persen diantaranya menjadi korban perdagangan manusia di Indonesia; (e) sebanyak 50 persen dari korban perdagangan manusia di Indonesia adalah anak-anak; dan (f) di tahun 2010, terdapat 471 migran Indonesia kembali dari Timur Tengah tengah hamil akibat perkosaan dan 161 orang lainnya kembali dengan anak-anak yang telah lahir di Timur Tengah” .
Dalam catatan Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2004, jumlah anak yang menjadi korban human trafficking (perdagangan manusia) adalah 10 kasus. Pada tahun 2005, jumlah tersebut meningkat menjadi 18 kasus. Menginjak tahun 2006 dan 2007, jumlah tersebut mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 129 kasus pada tahun 2006 dan 240 kasus pada tahun 2007, sedangkan jumlah korban kasus perdagangan anak sejak tahun 2008 hingga saat ini diperkirakan mencapai 40-70 ribu orang . Bentuk-bentuk pelanggarannya ada berbagai macam, antara lain: dieksploitasi sebagai buruh, menjadi korban pornografi, prostitusi, dan narkotika.
Mengacu pada laporan Trafficking in Persons 2011, pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah reformasi yang secara signifikan meningkatkan koordinasi dan efektifitas dari 19 kementerian dan lembaga negara yang teribat dalam penanganan perdagangan manusia . Beberapa contoh langkah konkrit yang sudah dilaksanakan antara lain: (a) membentuk Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Universitas Indonesia untuk mengatasi penipuan kesempatan magang terhadap pelajar sekolah kejuruan; (b) mengklarifikasi peran Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) di luar negeri dalam menerapkan UU Tenaga Kerja Indonesia Nomor 39 tahun 2004; (c) menyusun RUU yang lebih progresif untuk melindungi TKI di luar negeri, termasuk korban perdagangan manusia secara lebih efektif; dan (d) melarang sertifikasi pekerja migran perempuan Indonesia yang akan pergi ke Arab Saudi dan Yordania, menyusul larangan serupa yang sudah diberlakukan untuk TKI perempuan Indonesia yang akan ke Malaysia .

TABEL 1
Daerah Pengirim, Penerima dan Transit Perdagangan Manusia di Indonesia

DAERAH SUMBER TRANSIT DAERAH PENERIMA
Prop. Sumatera Utara:
Medan, Deli Serdang, Serdang
Bedagai, Simalungun,
Pematang Siantar, Asahan,
Langkat, Tebing Tinggi,
Labuhan Batu, Tapanuli
Selatan, Dairi, Langkat, Binjai Belawan, Medan, Padang
Bulan, Deli Serdang,
Serdang Bedagai, Asahan,
Tanjung Balai maupun
Kabupaten Labuhan Batu
un. Deli Serdang, Medan,
Belawan, Serdang Bedagai,
Simalung
__ Prop. Riau: Tanjungbalai
Karimun, Dumai Tanjung Balai Karimun,
Dumai, Pekanbaru.
__ Prop. Kepulauan Riau:
Batam, Tanjung Pangkor Batam
Prop. Lampung Lampung Selatan Lampung Selatan
__ Prop. DKI Jakarta:
Jakarta Pusat, Barat, Timur, Utara dan Selatan. Jakarta Pusat, Barat, Timur,
Utara, Selatan.
Prop. Jawa Barat:
Sukabumi, Tangerang,
Bekasi, Indramayu, Bandung,
Karawang, Bogor, Cianjur,
Ciroyom, Bekasi, Sawangan
Depok, Cirebon, Kuningan. Bandung, Losari-Cirebon
Prop. Jawa Tengah:
Banyumas, Magelang,
Purwokerto, Cilacap,
Semarang, Tegal,
Pekalongan, Purwodadi,
Grobogan, Jepara, Boyolali Cilacap, Solo Baturaden, Solo.
Prop. Jawa Timur:
Banyuwangi, Nganjuk,
Madiun, Kediri, Surabaya,
Blitar, Jember, Gresik Surabaya Surabaya
Prop. Bali:
Denpasar, Trunyan, Karangasem,
Kintamani, Bangli Denpasar. Denpasar, Gianyar, Legian,
Nusa Dua, Sanur, Tuban.
Kuta, Ubud, Candi Dasa dan
Denpasar.
Prop. Kalimantan Barat:
Pontianak
. Pontianak Entikong, Pontianak
Prop. Kalimantan Timur:
Samarinda
. Balikpapan, Nunukan,
Tarakan Balikpapan, Samarinda
Prop. Sulawesi Selatan:
Pare-pare, Makassar,
Sengkang, Watampone.
Prop. Sulawesi Utara:
Manado Bitung.
Prop. Sulawesi Tenggara –
Prop. Nusa Tenggara Barat Mataram. Pantai Senggigi, Sumbawa
Prop. Nusa Tenggara Timur – –
– Prop. Maluku Utara: Ternate –
– Prop. Papua:
Serui Biak, Fak-fak, Timika

Sumber: http://www.menkokesra.go.id/pdf/deputi3/human_trafficking_ind.pdf, Tindak Pemberantasan Pidana Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta 2005.
TABEL 2
Daerah Sumber, Transit dan Penerima Trafficking

DAERAH SUMBER NEGARA PENERIMA
Indonesia, Thailand, Taiwan, Cina, Hong Kong dan beberapa negara Eropa termasuk
Norwegia (Rosenberg 2003) Asia Tenggara (Singapura,
Malaysia, Brunei, Filipina,
Thailand),
Timur Tengah (Arab Saudi),
Taiwan, Hong Kong, Jepang,
Korea Selatan,
Australia,
Amerika Selatan, dan Indonesia.

Sumber: http://www.menkokesra.go.id/pdf/deputi3/human_trafficking_ind.pdf, Tindak Pemberantasan Pidana Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta 2005.

Berdasarkan data Badan Reserse Kriminal Polri, jumlah perdagangan manusia di Indonesia mencapai 607 kasus, pada tahun 2010, yang melibatkan sebanyak 857 orang pelakunya. Dan para korbannya orang dewasa 1.570 orang (76,4%) dan 485 anak-anak (23,6%) . Selama ini, Polri tetap melakukan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang, namun jumlah pelaku perdagangan orang yang dilaporkan terkena tuntutan dan hukuman menurun secara signifikan. Penurunan ini mungkin disebabkan perbaikan sistem pengumpulan dan pelaporan data tentang penegakan hukum oleh Polri yang semakin terdesentralisasi di Indonesia.
Melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Polri dapat menindak segala bentuk perdagangan orang agar dapat dihukum 3 sampai 15 tahun penjara melalui proses pengadilan. Hukuman tersebut cukup berat dan sebanding dengan orang-orang yang melakukan kejahatan serius lainnya, seperti pemerkosaan. Tetapi, banyak polisi dan jaksa yang masih asing dengan undang-undang ini, sering enggan atau tidak yakin bagaimana menggunakannya secara efektif untuk menghukum pelaku perdagangan manusia. Sementara polisi dilaporkan menggunakan undang-undang tahun 2007 untuk mempersiapkan kasus penuntutan, beberapa jaksa dan hakim masih menggunakan hukum lainnya yang lebih lazim untuk menuntut pelaku perdagangan manusia.
Selama tahun 2010, polisi menyelidiki 106 orang yang ditangkap dan didakwa dengan pelanggaran menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Selama tahun 2010, 112 tersangka pelaku perdagangan manusia dipidanakan, sedangkan pada tahun 2009 dengan 138 tersangka yang dituntut di pengadilan. Pemerintah Indonesia menghukum 25 pelaku pelanggaran pada tahun 2010, sedangkan pada tahun 2009, 84 pelaku yang dihukum . Jumlah pelaku yang ditangkap dan dihukum lebih sedikit secara signifikan pada tahun 2010 dibandingkan pada Tahun 2009.
Polisi dianggap terlalu pasif dalam menyelidiki pengaduan perdagangan manusia yang tidak dikeluhkan secara khusus . Polisi juga dilaporkan sering menyelamatkan korban perdagangan manusia, polisi sering gagal untuk mengejar pelaku perdagangan yang melarikan diri ke daerah lain atau ke luar negeri. Meskipun polisi seringkali menyadari adanya anak-anak dalam pelacuran atau situasi perdagangan manusia lainnya, tetapi sering gagal melakukan intervensi untuk menangkap orang yang mungkin merupakan pelaku perdagangan ataupun melindungi korban tanpa adanya laporan khusus dari pihak ketiga .
Aparat keamanan, menurut LSM dan pejabat setempat, terus terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam praktek tindak pidana perdagangan orang . Aparat kepolisian dan militer kadang-kadang dikaitkan dengan rumah bordil dan menjadi “tameng” dalam praktek-praktek tindak pidana perdagangan orang. Perantara perusahaan perekrutan yang terlibat dalam perdagangan manusia seringkali beroperasi dan melakukan penipuan di luar jangkauan hukum karena memiliki impunitas. Menurut laporan, beberapa pejabat dari Kementerian Tenaga Kerja memberikan izin dan melindungi agen perekrutan tenaga kerja internasional yang terlibat dalam perdagangan manusia, meskipun pejabat tersebut mengetahui tentang keterlibatan agen dalam perdagangan manusia .
Beberapa agen perekrutan tenaga kerja yang curang mempunyai kaitan dengan keluarga atau teman-teman pejabat pemerintah atau polisi yang melakukan transaksi ketika tertangkap dan kemudian juga menangani pelayanan penerbitan paspor yang masih menjadi obyek korupsi yang meluas. Agen perekrutan tenaga kerja secara rutin memalsukan tanggal lahir termasuk untuk anak-anak dalam rangka mengurus paspor dan dokumen pekerja migran. Kementerian Tenaga Kerja secara terbuka menyatakan sedang mengidentifikasi dan menghukum perusahaan-perusahaan ini dan media sering melaporkan penangkapan perusahaan perekrutan tenaga kerja.
Menurut laporan, pada bulan April 2011 pihak berwenang menangkap dua wakil PJTKI karena memalsukan dokumen dua pekerja rumah tangga Indonesia yang dikirim oleh perusahaan tersebut ke Arab Saudi, dan disiksa secara kejam disana . Kementerian belum dapat menunjukkan data statistik tentang berbagai tindakan yang telah dilakukan karena beberapa pejabat setempat diduga memfasilitasi perdagangan manusia dengan memberikan informasi palsu untuk mengeluarkan kartu tanda penduduk nasional dan data kartu keluarga untuk anak-anak, yang memungkinkan mereka untuk direkrut untuk bekerja sebagai orang dewasa di dalam dan di luar negeri.
Ada laporan yang dapat dipercaya bahwa unsur-unsur kepolisian dan militer terlibat dalam menjalankan rumah bordil yang berisi korban perdagangan manusia dari negara asing seperti Uzbekistan . Ketika diperingatkan oleh kedutaan besar asal korban tentang masalah tersebut, menurut laporan, polisi menolak untuk menyelamatkan para perempuan tersebut. Meskipun beberapa laporan menunjukkan keterlibatan aparat penegak hukum dalam perdagangan manusia selama tahun ini, pemerintah tidak melaporkan adanya penyelidikan, penuntutan, hukuman, atau vonis kepada pejabat pemerintah atas berbagai pelanggaran terkait perdagangan manusia seperti ini.
Berdasarkan beberapa sumber tersebut diatas, dapat diketahui bahwa kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang masih belum optimal. Perkembangan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang menunjukkan trend penurunan Berbagai permasalahan ditemui dalam praktek penegakan hukum tersebut sehingga kondisi yang diharapkan tidak tercapai. Permasalahan tersebut antara lain: Polri belum melakukan strategi dan metode penegakan hukum yang tepat; adanya keterlibatan oknum di dalamnya; kurangnya keseriusan pemerintah dan instansi terkait; kurang senerginya aparat penegak hukum, pemerintah, instansi terkait dan masyarakat.

3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Perdagangan Orang
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang, penulis kategorikan dalam 2 (dua) faktor, yaitu: faktor instrumental dan faktor environmental. Faktor instrumental dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: instrumen hukum internasional dan instrumen hukum nasional, sedangkan faktor environmental sendiri dapat dibagi menjadi 2 (dua) faktor, yaitu: faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman).
Instrumen hukum internasional yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang antara lain:
a. ILO Forced Labour Convention tahun 1930;
b. ILO Abolition of Forced Labour Convention tahun 1957;
c. ILO Minimum Age Convention tahun1973;
d. ILO Worst Forms of Child Labour Convention Tahun 1999; dan
e. United Nation Convention Against Transnational Crimes di Palermo Itali pada Tahun 2000, yang terdiri dari: Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children (Trafficking Protocol) dan Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air.
Instrumen hukum nasional yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang antara lain:
a. Amandemen Keempat UUD 1945;
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi;
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Form of Discrimination Against Women);
d. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
e. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003;
f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; (g) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana;
h. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
i. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
j. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Crimes (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir); dan (k) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Faktor internal yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang antara lain:
a. Kekuatan (Strengths), meliputi: (1) Adanya instrumen hukum (internasional dan nasional) yang kuat dalam mendukung upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang; (2) Banyaknya personil Polri yang tersentralisasi dari pusat ke daerah-daerah sehingga memudahkan komunikasi dan koordinasi dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang; (3) Adanya dukungan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana bagi Polri; dan (4) SDM Polri telah memiliki kemampuan yang cukup (dari sekolah, kursus dan latihan baik di dalam maupun di luar negeri) dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang.
b. Kelemahan (Weekness), meliputi: (1) Adanya keterlibatan oknum Polri baik secara langsung maupun tidak langsung membekingi praktek perdagangan manusia; (2) Lemahnya koordinasi dan kerjasama antara Polri dengan pihak-pihak dan instansi-instansi terkait yang berkaitan dengan penanganan perdagangan orang; (3) Terbatasnya sarana dan prasarana (khususnya angkutan laut dan udara) dalam upaya memonitor seluruh wilayah Indonesia yang rentan terhadap terjadinya praktek perdagangan orang; dan (4) Belum adanya sistem dan metode yang tepat dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang.
Faktor eksternal yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang antara lain:
a. Peluang (Opportunities), meliputi: (1) Besarnya dukungan internasional dalam rangka pemberantasan praktek perdagangan manusia; (2) Adanya satuan gugus tugas, BNP2TKI serta badan atau instansi lainnya yang dibentuk khusus untuk mendukung upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; (3) Banyaknya LSM dan kelompok masyarakat tertentu yang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; dan (4) Budaya ketimuran (kearifan lokal) yang masih ada di masyarakat Indonesia yang masih menganggap bahwa perdagangan orang merupakan suatu perbuatan yang tidak terpuji/dosa.
b. Ancaman (Threats), meliputi: (1) Kondisi sosial masyarakat Indonesia (misalnya banyaknya kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, dan lain sebagainya) yang mendorong mudahnya mereka menjadi korban kejahatan perdagangan orang; (2) Kurangnya kesepahaman antara aparat penegak hukum (terutama hakim dan jaksa) dalam penanganan kejahatan perdagangan manusia; (3) Kurangnya keseriusan instansi atau pihak-pihak terkait khususnya dalam instansi pemerintah terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; dan (4) Masih lemahnya pemahaman sebagian masyarakat mengenai kejahatan perdagangan orang sehingga mereka mudah tertipu, terperdaya bahkan menjadi korban kejahatan tersebut.

3.3. Strategi Peningkatan Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Perdagangan Orang
Sebelum menentukan strategi guna meningkatkan penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang, penulis akan melakukan analisa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut dengan menggunakan teknik analisa SWOT. Tahap pengumpulan data telah dilakukan dalam penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi yang telah penulis bahas sebelumnya. Saat ini, kita perlu melakukan analisa terlebih dahulu faktor-faktor tersebut. Penulis menggunakan Matrik Internal Eksternal (Matrik IE) dan Matrik TOWS dalam menganalisa faktor-faktor tersebut.

a. Tabel Internal Factor Analysis Summary (IFAS)

FAKTOR INTERNAL BOBOT RATING BOBOT
X RATING
Kekuatan (Strenghts)
1) Dukungan instrumen hukum yang kuat.
2) Banyak dan terdesentralisasinya personil Polri.
3) Adanya dukungan anggaran lidik dan sidik.
4) Kemampuan SDM Polri yang sudah memadai.
0,20
0,05
0,10
0,15

4
2
3
2
0,80
0,10
0,30
0,30
Kelemahan (Weekness)
1) Indikasi ada oknum Polri yang terlibat.
2) Lemahnya koord dan kerma dgn instansi dan pihak lain.
3) Kurangnya sarana dan prasarana.
4) Belum ada sistem dan metode yang tepat
0,05
0,15
0,10
0,20
2
2
3
1
0,10
0,30
0,30
0,20
TOTAL 1,00 2,40

b. Tabel Eksternal Factor Analysis Summary (EFAS)

FAKTOR EKSTERNAL BOBOT RATING BOBOT
X RATING
Peluang (Opportunities)
1) Besarnya dukungan internasional.
2) Adanya gugus tugas instansi lain yang dibentuk khusus.
3) Banyaknya jumlah LSM yang peduli.
4) Kentalnya budaya ketimuran (kearifan lokal) di masyarakat.
0,20
0,15
0,10
0,05

4
3
2
1
0,80
0,45
0,20
0,05
Ancaman (Threats)
1) Kondisi sosial masyarakat yang dukung jadi korban.
2) Adanya kurang sepahaman antar aparat gakkum.
3) Kurangnya keseriusan instansi dan pihak terkait khususnya instansi pemerintah.
4) Lemahnya pemahaman masyarakat.
0,10
0,15
0,20
0,05
2
2
3
2
0,20
0,30
0,60
0,10
TOTAL 1,00 2,70

c. Analisa Posisi Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Perdagangan Orang dengan Matrik Internal Eksternal (IE)

1

2
3

4

5

6

7

8
9

Hasil kombinasi IFAS dan EFAS menunjukkan bahwa upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang oleh Polri pada posisi 2. Posisi ini menunjukkan kondisi yang cukup menggembirakan bahwa upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang oleh Polri masih berkembang, namun Polri harus berkonsentrasi melalui integrasi horizontal melalui kerjasama dengan seluruh komponen pemerintahan dan masyarakat untuk dapat lebih meningkatkan upaya penegakan hukum tersebut.

d. Matrik TOWS

IFAS

EFAS Kekuatan (Strenghts)
1) Dukungan instrumen hukum yang kuat.
2) Banyak dan terdesentralisasinya personil Polri.
3) Adanya dukungan anggaran lidik dan sidik.
4) Kemampuan SDM Polri yang sudah memadai.
Kelemahan (Weekness)
1) Indikasi ada oknum Polri yang terlibat.
2) Lemahnya koordinasi dan kerjasama dengan instansi dan pihak lain.
3) Kurangnya sarana dan prasarana.
4) Belum ada sistem dan metode yang tepat
Peluang (Opportunities)
1) Besarnya dukungan internasional.
2) Adanya gugus tugas instansi lain yang dibentuk khusus.
3) Banyaknya jumlah LSM yang peduli.
4) Kentalnya budaya ketimuran (kearifan lokal) di masyarakat.
Strategi S-O
 Menjalin kerjasama yang baik dengan antar negara, lembaga internasional, pemerintah, lembaga nasional, instansi terkait dan komponen masyarakat yang peduli.
 Pemanfaatan budaya kearifan lokal masyarakat Indonesia untuk menangkal dan mendeteksi praktek perdagangan orang. Strategi W-O
 Peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan instansi dan pihak lain (nasional dan internasional, aparat gakkum lain, pemerintah dan masyarakat) termasuk kerjasama untuk deteksi oknum yang terlibat, pemenuhan sarana prasarana yang diperlukan dan pembuatan sistem dan metode yang tepat.
 Penindakan tegas terhadap oknum Polri yang terlibat.
Ancaman (Threats)
1) Kondisi sosial masyarakat yang dukung jadi korban.
2) Adanya kurang sepahaman antar aparat gakkum.
3) Kurangnya keseriusan instansi dan pihak terkait khususnya instansi pemerintah.
4) Lemahnya pemahaman masyarakat.
Strategi S-T
 Peningkatan kerjasama dan koordinasi yang baik dengan aparat gakkum (khususnya Hakim dan Jaksa) oleh setiap personil Polri.
 Kerjasama dengan pemerintah dan komponen masyarakat untuk mengatasi kondisi sosial masyarakat.
 Peningkatan keseriusan pemerintah dan pemahaman masyarakat dalam membantu upaya gakkum . Strategi O-T
 Penindakan tegas terhadap oknum Polri yang terlibat.
 Peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan instansi dan pihak lain (nasional dan internasional, aparat gakkum lain, pemerintah dan masyarakat).
 Pembuatan sistem dan metode yang efektif dan efisien dengan upaya gakkum.

Berdasarkan seluruh analisa instrumental, faktor internal dan eksternal tersebut, maka penulis merumuskan suatu program penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang yaitu Program Kerjasama Lintas Sektoral dan Penggalangan Komponen Masyarakat. Penjabaran strategi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Visi
“Mewujudkan kerjasama lintas sektoral (nasional, regional dan internasional) dan penggalangan komponen masyarakat yang intensif, sinergi, efektif dan efisien dalam rangka peningkatan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang di Indonesia”
b. Misi
1) melakukan peningkatan kerjasama dan koordinasi dengan instansi pemerintah, gugus tugas dan instansi terkait lainnya dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
2) menjalin hubungan, memberdayakan, dan melakukan kerjasama dengan seluruh komponen masyarakat dalam meningkatkan kesadaran dan daya tangkal masyarakat terhadap bahaya tindak pidana perdagangan orang;
3) menjalin hubungan dan melakukan peningkatan kerjasama dan koordinasi dengan organisasi dan negara serta lembaga baik regional maupun internasional yang ada dalam rangka pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
4) melakukan penindakan terhadap oknum Polri yang terlibat tindak pidana perdagangan orang;
5) menyusun sistem dan metode yang efektif dan efisien guna memberantas tindak pidana perdagangan orang;
6) melakukan peningkatan kesepahaman, kerjasama dan koordinasi aparat CJS dalam penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan orang; dan
7) melakukan pemberdayaan kearifan lokal dalam mengantisipasi, mendeteksi dan menangkal praktek tindak pidana perdagangan orang.
c. Tujuan
1) terwujudnya peningkatan kerjasama dan koordinasi yang intensif, sinergi, proporsional, dan mutualisme dengan instansi pemerintah, gugus tugas dan instansi terkait lainnya dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
2) terjalinnya kerjasama dengan yang intensif dengan seluruh komponen masyarakat dalam meningkatkan kesadaran dan daya tangkal masyarakat terhadap bahaya tindak pidana perdagangan orang;
3) terjalinya hubungan dan terwujudnya peningkatan kerjasama dan koordinasi yang intensif, sinergi, dan mutualisme dengan organisasi dan negara serta lembaga baik regional maupun internasional yang ada dalam rangka pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
4) terwujudnya efek jera bagi oknum Polri yang terlibat dan mencegah anggota Polri sehingga tidak terlibat tindak pidana perdagangan orang;
5) terwujudnya suatu sistem dan metode yang efektif dan efisien guna memberantas tindak pidana perdagangan orang;
6) terwujudnya peningkatan kesepahaman, kerjasama dan koordinasi aparat CJS dalam penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan orang; dan
7) tercapainya pemberdayaan kearifan lokal dalam mengantisipasi, mendeteksi dan menangkal praktek tindak pidana perdagangan orang.
d. Sasaran
1) instansi pemerintah, gugus tugas dan lembaga lainnya yang dibentuk pemerintah;
2) organisasi, negara dan lembaga (nasional, regional dan internasional) yang berkompeten dan mendukung pemberantasan tindak pidana kejahatan orang;
3) Oknum Polri yang terlibat tindak pidana perdagangan orang;
4) aparat penegak hukum dalam CJS; dan
5) seluruh komponen masyarakat dan kearifan lokal yang ada di masyarakat.
e. Pelaksana
1) Seluruh personil Polri khususnya yang terlibat langsung dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang di seluruh wilayah Negara Keastuan Republik Indonesia terutama di daerah yang rentan terhadap terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
2) Seluruh pimpinan Polri dari tingkat Mabes Polri sampai tingkat Polsek secara berjenjang sesuai dengan potensi wilayah hukum masing-masing.
f. Strategi
 Jangka Pendek (1 s.d 2 tahun pertama)
1) melakukan pertemuan rutin dan koordinasi bulanan yang intensif dengan:
a) instansi pemerintah terkait dan pihak-pihak terkait lainnya.
b) aparat CJS.
3) mengikuti pertemuan dan koordinasi rutin yang diadakan oleh badan dan organisasi nasional, regional dan internasional yang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
4) membuat dan membina jaringan komunikasi (contact person) di instansi pemerintah, LSM dan instansi terkait lainnya serta pada badan dan organisasi di Indonesia.
5) melakukan penindakan yang tegas terhadap setiap oknum yang terbukti terlibat tindak pidana perdagangan orang.
6) melakukan penyusunan sistem dan metode penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang untuk level nasional.
7) melakukan indentifikasi dan inventarisasi kearifan lokal yang ada di Indonesia yang dapat bermanfaat bagi pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
 Jangka Menengah (tahun ke-3 dan ke-4)
1) menjalin dan membina kerjasama serta membuat jaringan komunikasi dengan negara yang rentan menjadi tujuan dan potensi sebagai pemasok tindak pidana perdagangan orang dari dan ke Indonesia.
2) membina jaringan komunikasi (contact person) di instansi pemerintah, LSM dan instansi terkait lainnya serta pada badan dan organisasi di kawasan regional.
3) mengikuti pertemuan dan koordinasi rutin yang diadakan oleh badan dan organisasi nasional, regional dan internasional yang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
3) membina dan mengembangkan kerjasama dan koordinasi secara intensif dengan:
a) instansi pemerintah terkait dan pihak-pihak terkait lainnya.
b) aparat CJS.
c) badan dan organisasi nasional dan regional.
4) melakukan evaluasi, perbaikan dan penyempurnaan sistem dan metode penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang untuk level regional.
 Jangka Panjang (5 tahun dan seterusnya)
1) membina dan mengembangkan kerjasama dan jaringan komunikasi dengan seluruh negara di dunia dalam rangka pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di dunia;
2) melakukan evaluasi, perbaikan dan penyempurnaan serta pengembangan sistem dan metode penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang di level internasional.
3) membina dan mengembangkan jaringan komunikasi (contact person) di instansi pemerintah, LSM dan instansi terkait lainnya serta pada badan dan organisasi nasional, regional dan internasional.
4) membina, mengembangkan dan memperluas kerjasama dan koordinasi secara intensif dengan:
a) instansi pemerintah terkait dan pihak-pihak terkait lainnya.
b) aparat CJS.
c) badan dan organisasi nasional, regional dan internasional.
5) melakukan evaluasi, perbaikan dan penyempurnaan serta pengembangan sistem dan metode penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang untuk level internasional.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Meskipun telah dilakukan berbagai upaya penegakan hukum oleh Polri, Indonesia tetap tidak dapat menurunkan posisi teratasnya dalam perdagangan manusia. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa:
a. Kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang masih belum optimal. Perkembangan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang menunjukkan trend penurunan.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi:
1) Adanya instrumen hukum (internasional dan nasional) yang kuat dalam mendukung upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang;
2) Banyaknya personil Polri yang tersentralisasi dari pusat ke daerah-daerah sehingga memudahkan komunikasi dan koordinasi dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang;
3) Adanya dukungan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana bagi Polri;
4) SDM Polri telah memiliki kemampuan yang cukup (dari sekolah, kursus dan latihan baik di dalam maupun di luar negeri) dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang;
5) Adanya keterlibatan oknum Polri baik secara langsung maupun tidak langsung membekingi praktek perdagangan manusia;
6) Lemahnya koordinasi dan kerjasama antara Polri dengan pihak-pihak dan instansi-instansi terkait yang berkaitan dengan penanganan perdagangan orang;
7) Terbatasnya sarana dan prasarana (khususnya angkutan laut dan udara) dalam upaya memonitor seluruh wilayah Indonesia yang rentan terhadap terjadinya praktek perdagangan orang; dan
8) Belum adanya sistem dan metode yang tepat dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang.
Faktor eksternal antara lain:
1) Besarnya dukungan internasional dalam rangka pemberantasan praktek perdagangan manusia;
2) Adanya satuan gugus tugas, BNP2TKI serta badan atau instansi lainnya yang dibentuk khusus untuk mendukung upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
3) Banyaknya LSM dan kelompok masyarakat tertentu yang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; dan
4) Budaya ketimuran yang masih ada di masyarakat Indonesia yang masih menganggap bahwa perdagangan orang merupakan suatu perbuatan yang tidak terpuji/dosa.
5) Kondisi sosial masyarakat Indonesia (misalnya banyaknya kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, dan lain sebagainya) yang mendorong mudahnya mereka menjadi korban kejahatan perdagangan orang;
6) Kurangnya kesepahaman antara aparat penegak hukum (terutama hakim dan jaksa) dalam penanganan kejahatan perdagangan manusia;
7) Kurangnya keseriusan instansi atau pihak-pihak terkait khususnya dalam instansi pemerintah terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; dan
8) Masih lemahnya pemahaman sebagian masyarakat mengenai kejahatan perdagangan orang sehingga mereka mudah tertipu, terperdaya bahkan menjadi korban kejahatan tersebut.
c. Strategi yang harus dilakukan untuk meningkatkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia yaitu Program Kerjasama Lintas Sektoral dan Penggalangan Komponen Masyarakat. Program tersebut meliputi visi, misi, tujuan, sasaran, pelaksana, dan strategi (jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang).

4.2. Saran
Agar program dalam upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka penulis menyarankan sebagai berikut: Pertama, masih perlu dilakukan kajian, evaluasi dan penyempurnaan terhadap program tersebut; Kedua, Perlu sosialisasi terhadap seluruh personil Polri termasuk upaya penggalangan saran, kritik dan masukan bagi penyempurnaannya; dan Ketiga, Apabila sudah dinyatakan sempurna, perlu dijabarkan lebih lanjut oleh pimpinan Polri melalui petunjuk teknis dan dijabarkan lagi oleh para kepala kesatuan wilayah melalui petunjuk pelaksanaan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Abdusalam, R., Penegakkan Hukum Dilapangan oleh Polri, Jakarta, Diskum Polri, 1997.
Rangkuti, Freddy, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Soekanto Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Radjawali, 1986.
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed. 1 Cet. 5, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Wilson Colin, A Criminal History of Mankind, Toronto Sydney Aucland, Granada Publishing, 1984.

INTERNET
Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf.
Bangaip, Perdagangan Manusia – Definisi, Pemahaman Kondisi hingga Antisipasi di Indonesia, bangaip.org, http://bangaip.org/2009/08/perdagangan-manusia/#definisi.
Maria Natalia dan Asep Candra, Polri Bekuk Sindikat Perdagangan Manusia, kompas.com, Jakarta, 8 Oktober 2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/10/08/17295171/Polri.Bekuk.Sindikat.Perdagangan.Manusia.
Menkokesra.go.id, Tindak Pemberantasan Pidana Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta, 2005, http://www.menkokesra.go.id/pdf/deputi3/human_trafficking_ind.pdf,
Permata, Titis Jati, PBB: Indonesia Pemasok Obyek Perdagangan Manusia, surya.co.id, 22 Juli 2011, http://www.surya.co.id/2011/07/22/pbb-indonesia-pemasok-obyek-perdagangan-manusia.
Umar, Musni, Pencegahan dan Pemulihan Korban Perdagangan Orang di Indonesia, wordpress.com, 26 Oktober 2011, http://musniumar.wordpress.com/2011/10/26/pencegahan-dan-pemulihan-korban-perdagangan-orang-di-indonesia/.
U.S. Embassy Jakarta, Information Trafficking in Person, Jakarta, November 2011, http://goo.gl/I3BeN.
___________, Memprihatinkan, Perdagangan Anak di Indonesia Capai 70 Ribu Kasus, 108CSR.com, 25 Juni 2011, http://www.108csr.com/home/news.php?id=271.
_______________, Kasus perdagangan manusia makin memprihatinkan, kabarbisnis.com, 4 Januari 2012, diakses melalui http://www.kabarbisnis.com/read/2817137 .
_________, Perdagangan Manusia 2011 Indonesia (Tier 2), http://indonesian.jakarta.usembassy.gov/laporan-politik/perdangangan-manusia.html.
______________ ,Indonesia Terbanyak Korban Perdagangan Manusia, Kementerian PP & PA Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta, 3 November 2011, http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=495:indonesia-terbanyak-korban-perdagangan-manusia&catid=35:menegpp&Itemid=87.
___________, Key Report Perdagangan Manusia 2011 – Indonesia (Pier 2), Embassy Of United States Jakarta Indonesia, http://indonesian.jakarta.usembassy.gov/laporan-politik/perdangangan-manusia.html.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2007, Pasal 1 angka 1.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang,

BAHAN PERKULIAHAN
Petrus Reinhard Golose, Kejahatan Transnasional dan Radikalisme (Suatu Pengantar), Bahan Kuliah bagi Mahasiswa Angkatan I Magister Ilmu Kepolisian STIK PTIK, Jakarta, disampaikan pada tanggal 30 November 2011.

BAHAN-BAHAN LAIN
United Nations Office on Drugs and Crime, An Introduction to Human Trafficking: Vulnerability, Impact and Action, United Nations, 2008.
United Nations Office on Drugs and Crime, Global Report on Trafficking in Persons,United Nations, 2009.

Share this:
Surat elektronikCetak

Posted in klinik kriminal and tagged ANTI TERROR, BANJIR, DAS, GARIS POLISI, HAK TERSANGKA, hukum, HUMAN SECURITY, HUMAN TRAFFICKING, HUTAN, HUTAN LINDUNG, ILLEGAL LOGGING, JEPANG, KAJIAN KEAMANAN, KAMNAS, KEJAHATAN LINTA S BATAS, KEMANUSIAAN, KEMENTRIAN LINGKUNGAN HIDUP, KERJASAMA, KORUPSI, legalitas, LONGSOR, MIRANDA RULE, MIRANDA WARNING, OLAH TKP, PEMBALAKAN LIAR, PENAHANAN, penangkapan, PENEGAKKAN HUKUM, PENGGELEDAHAN, PENYELIDIK, penyelundupan manusia, PENYIDIK, PEOPLE SMUGGLING, perdagangan manusia, perkembangan dan pencegahan kejahatan, POLICE LINE, POLICE SNIPER, POLMAS, POLRI, PPNS, prosedur, PUBLIC GOODS, RULE OF CONDUCT, SDA, STUDI KEAMANAN, SUMBER DAYA ALAM, TEMPAT KEJADIAN PERKARA, TKP, TNI, TPTKP, transnasional, TUGAS POLISI, undang undang, UPAYA PAKSA, use of force, ZEMI on Oktober 9, 2012. Tinggalkan komentar

About admin

Pemantau Perdagangan Manusia

Comments are closed.

Scroll To Top